Pemda dan DPRD Harus Bertanggungjawab Terhadap Kondisi Bank Banten

oleh -42 Dilihat
oleh

KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Pengamat Perbankan Saiful Muhammad Ruqy menilai, kondisi likuiditasi yang dialami oleh Bank Banten saat ini merupakan hasil keputusan politik masa lalu. Untuk itu dirinya meminta agar Pemda dan DPRD harus bertanggungjawab terhadap kondisi Bank Banten saat ini.

Saiful yang sempat menjadi konsultan pada saat Pemprov akan mengakuisi Bank Pundi mengaku sudah memberikan warning agar tidak melanjutkan rencana tersebut. Namun pada saat itu peringatannya tidak diindahkan dan tetap mengakuisi Bank Pundi.

“Ketika semangatnya kita semua menginginkan mempunyai bank sendiri, saya sepakat dan sangat mendukung itu. Tetapi ketika sudah masuk ke penentuan bank mana yang akan kita akuisisi, tentu asas kehati-hatian dan kecermatan harus kita dahulukan, karena ada dana masyarakat yang cukup besar akan dipakai disitu. Namun yang terjadi saat itu, Pemda dan DPRD kesannya tidak memperhatikan asas kehati-hatian itu, karena semangatnya Banten harus mempunyai bank sendiri,” jelasnya.

Mantan managing director BUMN manufaktur itu menambahkan, memilih Bank Pundi itu sebuah kesalahan besar yang dilakukan Pemda dan DPRD, mengingat kondisi Bank Pundi saat itu dalam keadaan tidak sehat dan banyak terjadi kredit macet.

“Sebelum ada rencana diakuisisi Pemprov Banten, bank Pundi sempat mau diambil oleh MNC. Namun pada saat itu gagal dilakukan karena tidak terjadi kesepakatan antar keduanya,” ujarnya.

Saiful kala itu merekomendasikan untuk mengakuisisi Bank BJB Syariah, dengan alasan bisa konversi saham Pemprov Banten di BJB. Sehingga pemilik mayoritas saham di BJB Syariah akan mendapatkan keuntungan besar.

Pemprov Banten mengakuisi Bank Pundi sebesar Rp800 miliar, dengan skala kepemilikan saham sebesar 68 persen. Dana itu dibayarkan secara bertahap sebanyak tiga kali. Bank Pundi memiliki 163 cabang di dalam atau luar Banten. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan Pemprov Banten memilih mengakuisisi Bank Pundi.

“Padahal BPD itu tidak harus banyak cabang di luar daerah, karena setiap daerah sudah memiliki BPD masing-masing,” katanya.

Banyaknya cabang ini, lanjutnya, tidak akan berpengaruh terhadap kinerja perseroan, karena pangsa pasar utama BPD itu masyarakat setempat, lewat penyaluran kredit atau yang lainnya.

“Mainsetnya kalau banyak cabang itu mudah dikembangkan, tapi pada kenyataannya justru malah menjadi beban,” tuturnya.

Kondisi Bank Pundi sendiri saat itu termasuk Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) oleh OJK. Rasio kinerja keuangannya sendiri, secara umum tidak menunjukan kondisi yang baik. “Jika saja Pemprov mengedepankan asas kehati-hatian dalam memilih bank yang akan dijadikan target, mestinya Pemprov juga hasil temuan tuntas Deloitte terhadap bank ini. Saya yakin Pemprov akan mikir dua kali,” tegasnya.

Dari sektor usaha, Bank Pundi dengan keinginan Pemprov Banten memang sejalan, yakni pengembangan pembiayaan di sektor ekonomi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun yang tidak diuntungkan adalah posisi Non Performing Loan (NPL) Bank Pundi ketika akan diakuisisi oleh Pemprov Banten mencapai Rp1,5 triliun, sehingga untuk menyehatkannya dibutuhkan modal sekitar Rp2 triliun.

“Ini yang menjadi beban berat Pemprov Banten untuk mengembangkan usahanya. Terlebih beban itu sebagian besar terjadi di cabang perseroan” ungkapnya.

Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Langkah selanjutnya adalah bagaimana kita bisa menyelamatkan Bank Banten ini ke depan.

Sekarang Pemprov Banten akan berencana melakukan marger Bank Banten ke Bank BJB yang dulu sempat mengelola Kasda Pemprov Banten.

Saiful melihat, memutuskan memilih Bank BJB sebagai labuhan hati dirasa kurang tepat, mengingat kondisinya sendiri kini tengah dalam tekanan sentimen negatif dari pasar. Harga sahamnya juga sekarang mengalami penurunan terkoreksi per akhir bulan April mencapai 3,17 persen.

“Kalau mau mencari Bank dengan kondisi keuangan yang bagus, seharusnya jangan ke BJB, tapi ke Bank DKI Syariah,” katanya. (Rey/Al)