KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Optimalisasi pengelolaan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak Air Permukaan (AP) jauh dari target yang diharapkan Gubernur Banten sebesar Rp39 miliar. Pada tahun 2019, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Banten hanya mampu menggenjot penerimaan pajak dari sektor ini sebesar Rp29 miliar.
Atas dasar ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Provinsi Banten memberikan catatan merah berkenaan dengan pengendalian pemungutan pajak AP yang selama setahun lalu belum memadai.
Komisi III DPRD Banten juga menilai kordinasi yang dilakukan antara Bapenda dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten sangat buruk. Hal itu terlihat dari tidak adanya i’tikad baik untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan ini, bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab.
“Tidak ada kordinasi yang baik antara kedua OPD ini, sehingga kemudian keduanya saling lempar tanggung jawab,” katanya Ketua Komisi III DPRD Banten Gembong R Sumedi, Rabu (27/5/2020).
Politisi PKS ini menegaskan, dalam permasalahan ini, peranan kordinasi antara eksekutif itu sangat penting untuk menemukan sebuah solusi terbaik. Namun jika koordinasinya saja masih sangat buruk, bagaimana mungkin target yang ditetapkan bisa tercapai dengan baik.
“Terutama dalam hal menetapkan mekanisme prosedur pengendalian terhadap perusahaan yang mengurus persyaratan Surat Izin Pengambilan Air Permukaan (SIPAP) sesuai ketentuan,” katanya.
Jika masalah SIPAP ini menjadi alasan tidak maksimalnya penarikan pajak daerah, maka Gembong berharap Pemprov Banten sebaiknya membuat regulasi baru seperti yang dilakukan oleh Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel).
Acuan Pemprov Sumsel dalam mengambil pajak AP hanya berdasarkan matering air yang wajib dipasang di setiap perusahaan AP. Hasil ukur dari matering air ini kemudian yang akan dijadikan ukuran pengambilan pajak. Sehingga penarikan pajak AP tidak ada hubungannya dengan SIPAP.
“Opsi ini pernah disampaikan kepada Bapenda. Namun mereka tidak berani melaksanakan karena dikhawatirkan akan terkena delik hukum. Padahal, jika dilakukan, saya yakin PAD dari sektor ini akan bisa dimaksimalkan,” tegasnya.
Hal serupa juga dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten Ade Hidayat. Politisi Gerindra ini menilai permasalahan ini merupakan hal klasik yang tidak ada kemauan dari Bapenda untuk diselesaikan. Untuk itu, Ade menyarankan jika memang Pemprov mempunyai keseriusan untuk memaksimalkan pajak dari sektor ini, tutup saja dulu seluruh perusahaan yang sudah tidak memiliki izin SIPAP-nya. Jangan biarkan mereka beroperasi, sebelum urusan izin diselesaikan. Akan tetapi jika ingin lebih mudah, maka lakukan apa yang sudah diterapkan di Pemprov Sulsel dan Pemda Bandung Barat terkait penarikan pajak AP ini.
“Ini mah airnya tetap disedot, sementara pajaknya tidak masuk. Ini kan jelas pemerintahan yang dirugikan,” tegasnya.
Provinsi Banten mempunyai empat Wilayah Sungai (WS). Dua WS berada dalam kewenangan pemerintah pusat seperti WS Cidanau, Ciujung, Cidurian dan WS Ciliwung Cisadane. Sementara dua WS lagi berada dalam kewenangan Provinsi Banten, yakni WS Ciliman-Cibungur dan WS Cibaliung-Cisawarna.
Oleh karena itu, ada dua pihak yang berwenang mengeluarkan SIPAP, pertama Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten serta Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sebelum mengurus SIPAP ke PUPR, pemohon harus terlebih dahulu mengurus rekomendasi teknis pada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cidanau, Ciujung, Cidurian dan BBWS Ciliwung, Cisadane.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Kepala Bapenda dari dokumen yang redaksi dapatkan, proses izin yang panjang inilah yang menyebabkan banyaknya WP merasa kesulitan dalam melengkapi dokumen, baik untuk penerbitan SIPAP maupun perpanjangan.
Sementara itu Kepala Bidang (Kabid) Pendapatan (Bapenda) Provinsi Banten Abadi Wuryanto mengatakan, permasalahan izin SIPAP yang menjadi temuan BPK ini adanya di DPUPR. Namun, karena BPK mencantumkan dua OPD ini yang bertanggung jawab, akhirnya kami juga dilibatkan.
“Dari 168 Wajib Pajak (WP) AP ini, 92 diantaranya sudah habis masa perizinan SIPAP-nya, sehingga tidak bisa dilakukan pengambilan pajak,” jelasnya.
Berdasarkan temuan tersebut, BPK RI memberikan dua rekomendasi kepada Gubernur Banten. Pertama, memerintahkan DPUPR berkoordinasi dengan Kepala Bapenda Banten, untuk menetapkan mekanisme prosedur pengendalian kepada perusahaan yang mengurus persyaratan SIPAP sesuai ketentuan.
Kedua, mendata ulang WP air permukaan secara lengkap, meliputi kegiatan usaha yang menggunakan sumber daya air permukaan, kepemilikan SIPAP, volume penggunaan air permukaan dan kepatuhan pembayaran pajak air permukaan.
Data WP yang menjadi acuan Bapenda sendiri merupakan hasil pendataan yang dilakukan pada tahun 2014. Dalam dokumen itu BPK juga mempersoalkan terkait jumlah WP yang menjadi acuan hingga tahun 2020 ini tidak terjadi penambahan. (Rey/Al)