KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Nasib Bank Banten (BB) kini sudah berada di ujung tanduk. Tetap dipertahankan atau dibiarkan likuidasi alias bangkrut, keduanya mempunyai dampak konsekuensinya masing-masing.
Jika Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) memilih untuk melakukan likuidasi terhadap BB, maka konsekuensinya Pemprov Banten harus menanggung seluruh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada di BB, dengan total ganti ruginya mencapai Rp5,43 triliun yang tercatat pada Maret 2020.
Akan tetapi jika WH ingin tetap mempertahankan BB, maka Pemprov Banten selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) membutuhkan dana sekitar Rp2,8 triliun untuk menyehatkan bank kebanggaan masyarakat Banten tersebut.
“Dua pilihan pahit itu harus diputuskan oleh Gubernur Banten. Dalam kondisi seperti ini keduanya memang sangat berat, terlebih keuangan daerah kini sedang defisit karena banyak disalurkan untuk penanganan Covid-19,” ujar Rizqullah, pengamat Perbankan Syariah saat diskusi via video confren webdinar zoom yang dilaksanakan oleh fraksi partai Gerindra DPRD Banten, Selasa (12/5/2020).
Perusahaan publik dengan nama emiten BEKS tersebut kini perlahan sudah mengalami likuidasi. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan pemindahan RKUD Pemprov Banten dari BB ke Bank BJB yang kemudian menimbulkan gejolak rush money yang tidak bisa dihindarkan.
Rizqullah melihat, fenomena rush money yang terjadi pada BB itu tidak terlepas dari kepanikan Gubernur Banten dalam menghadapi situasi Pandemi yang membutuhkan dukungan keuangan yang mumpuni, sementara BB sendiri sebagai bank penyimpan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga kemudian Gubernur memotong jalur dengan menertibkan Keputusan Gubernur nomor 580/Kep-144-Huk/2020 tentang pemindahan RKUD-nya ke bank BJB.
“Penafsiran yang muncul bagi pelaku perbankan terhadap pemindahan RKUD itu merupakan penarikan kepercayaan sang ayah terhadap anaknya sendiri. Maka wajar kemudian jika terjadi rush money,” ujarnya.
Praktisi perbankan syariah ini melanjutkan, sekarang permasalahannya adalah pilihan mana yang akan ditentukan oleh Pemprov Banten dalam mengambil keputusannya. Dua-duanya memang berat, terlebih kondisi sekarang sangat tidak diuntungkan. Ibarat pepatah, Gubernur Banten kini sedang menghadapi buah simalakama, maju kena, mundur juga kena.
“Jika pilihan yang diambil adalah menyelamatkan Bank Banten, maka Pemprov dan DPRD harus kompak dan konsisten dengan keputusan ini. Karena ini merupakan keputusan politik untuk menyelamatkan sebuah bisnis di BB,” jelasnya.
Jikapun dalam perjalanannya nanti tetap harus dilakukan marger atau akuisisi saham, Pemprov Banten kenapa tidak mencoba ke bank syariah. Bank syariah kebutuhan modalnya lebih kecil dan kebijakan dari otoritasnya juga lebih rileks, tidak seperti bank umum.
“Ditambah lagi dengan kondisi Bank BJB yang kondisi sahamnya kurang baik untuk dilakukan marger,” ujarnya.
Selama empat tahun berjalan sejak 2016, BB masih mengandalkan dana deposito. Hal itu dikarenakan dana murah dari tabungan dan kredit masyarakat belum bisa dimaksimalkan, ditambah lagi banyaknya kredit macet yang selalu ditutupbukukan setiap tahunnya, yang kemudian berdampak pada selisih bunga BB yang hanya mampu mencapai angka 2 persen.
“Padahal standar bank yang sehat itu selisih bunganya antara 4-5 persen. Tetapi persoalan yang paling berdampak terhadap kinerja BB adalah permodalan kredit yang tidak bisa disalurkan dengan maksimal,” jelasnya.
Dilihat dari rasio kecukupan modal, kondisi BB terhitung sangat sulit untuk mengembangkan usaha, apalagi sampai melakukan ekspansi. Pada tahun 2016, berdasarkan catatan redaksi, rasio kecukupan modal BB hanya mencapai 13 persen dengan kerugian mencapai Rp283,85 miliar, satu tahun kemudian pada tahun 2017, rasionya menurun menjadi 10 persen dengan total kerugian mencapai Rp63,12 miliar. Pada tahun 2018 rasio kecukupan modalnya beranjak naik sebesar 10,04 persen, namun perseroan masih mencatat kerugian sebesar Rp131,07 miliar
Pun pada tahun 2019, rasio kecukupan modal BB kembali terpuruk ke angka 9,01 persen dengan kerugian Rp180,70 miliar.
“Untuk standar Bank umum, rasio kecukupan modal BB dari tahun ke tahun itu sudah masuk dalam kategori bank dalam posisi kritis. Untuk bisa mengembangkan usahanya, rasio bank umum lazimnya di atas 15 persen, sedangkan untuk melakukan ekspansi rasio suatu bank diharuskan sudah berada di atas 19 persen,” katanya.
Kerugian di awal tahun berdiri itu, menurut Rizqullah dianggap sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung, ketika Pemprov Banten melakukan akuisisi bank Pundi yang notabenenya dalam keadaan sakit dan meninggalkan banyak hutang yang harus ditanggung.
“Beban kredit komersial yang bermasalah saja pada awal tahun itu mencapai Rp118 miliar atau 25 persen dari total nilai outstanding komersial sebesar Rp742 miliar,” katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten Ade Hidayat mengatakan, kondisi BB seperti ini merupakan efek dari sikap acuh Pemprov Banten terhadap kebutuhan usaha BB, terutama menyangkut penyertaan modal yang tidak kunjung dicairkan. Padahal sejak tahun 2018, anggaran itu selalu dialokasikan.
“Dewan selalu membuatkan Perda penyertaan modal untuk BB setiap tahunnya, tetapi Perda itu tidak pernah dilaksanakan. Alasannya sendiri sampai saat ini belum kami ketahui,” katanya.
Selain itu, BUMD Banten Global Development (BGD) yang menaungi BB sendiri dalam keadaan tidak sehat, sehingga tidak banyak yang dilakukan untuk melakukan penyehatan terhadap usaha BB itu sendiri.
“Seluruh jajaran direksi BGD hingga kini masih dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt). Dengan segala keterbatasannya, jabatan Plt tentu tidak banyak yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Ade melanjutkan, sektor usaha di BUMD ini terhitung banyak, selain BB. Sahamnya ada di bank BJB, BJB Syariah juga terdapat di Jamkrida. Semua sektor ini jika dikelola oleh SDM yang profesional tentu akan menghasilkan deviden yang besar.
“Bagaimana bisa menjalankan sebuah bisnis besar, sementara struktur organisasi di dalamnya saja tidak jelas,” tegasnya.
BB ini merupakan bank kebanggan masyarakat. Untuk itu, sebelum dilakukan marger ke Bank BJB atau akuisi, hendaknya terlebih dahulu dilakukan kajian mendalam yang dilakukan oleh tim independen yang profesional. Tidak lantas membuat kebijakan kebijakan emosional dengan memindahkan RKUD-nya ke Bank BJB, tanpa melibatkan DPRD terlebih dahulu.
“Harusnya ada kajian yang panjang dan matang terlebih dahulu, setelah itu baru diputuskan,” ujarnya. (Rey/Al)