Pilarbanten.com – Konflik di Papua kembali menjadi sorotan, menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan penegakan hak asasi manusia (HAM) di tengah situasi yang rawan? Pergulatan ini melibatkan tokoh-tokoh penting yang memegang peranan kunci dalam menentukan arah konflik. Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang, saya, Nesa Meilani, merasa terpanggil untuk menyampaikan opini saya mengenai dilema ini.
Di satu sisi, operasi militer yang dilakukan untuk memberantas kelompok separatis seringkali diiringi dengan tuduhan pelanggaran HAM. Kejadian penembakan, penangkapan, dan penghilangan paksa yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan menjadi sorotan tajam, memicu kecaman dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh seperti Bethy Alis, aktivis HAM terkemuka yang kerap mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, dan Henok Wenda, tokoh berpengaruh dalam masyarakat adat Papua yang vokal dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Papua, terus bersuara lantang menentang pelanggaran HAM dan mendesak pemerintah untuk menghentikan operasi militer.
Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa operasi militer merupakan langkah yang diperlukan untuk menjaga keamanan dan stabilitas wilayah. Tokoh-tokoh seperti Luhut Binsar Pandjaitan, pejabat pemerintah yang memegang posisi penting dalam pemerintahan dan bertanggung jawab atas kebijakan keamanan di Papua, dan Andika Perkasa, pemimpin operasi militer di Papua, menekankan pentingnya penegakan hukum dan keamanan untuk mencegah terorisme dan menjaga ketertiban. Namun, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan keadilan di Papua masih rendah, menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pendekatan keamanan dalam jangka panjang.
Dilema ini semakin kompleks dengan adanya konflik yang berakar dari isu sejarah, politik, dan ekonomi. Masyarakat Papua menginginkan pengakuan atas hak-hak mereka, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Tokoh-tokoh seperti Benny Wenda, pemimpin salah satu kelompok separatis di Papua yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, dan Willem Tell, pemimpin adat dan berpengaruh dalam masyarakat adat Papua, terus memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua dan mendesak pemerintah untuk membuka dialog.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bisakah kita menemukan titik temu antara keamanan dan keadilan? Apakah solusi militer benar-benar efektif dalam mencapai perdamaian berkelanjutan? Atau, apakah dialog dan negosiasi yang melibatkan semua pihak, termasuk tokoh-tokoh kunci yang disebutkan di atas, menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik dengan damai?
Saya percaya bahwa solusi damai dan berkelanjutan hanya dapat tercapai melalui dialog yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat untuk menghormati HAM dan menegakkan hukum secara adil dan transparan. Dialog dan negosiasi yang melibatkan semua pihak, termasuk tokoh-tokoh kunci yang disebutkan di atas, menjadi kunci untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan bermartabat.
Penulis : Nesa Meilani
Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Pamulang