SERANG, PILARBANTEN.COM – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali menyuarakan penolakan terhadap UU 6 Tahun 2023 tentang Perppu Cipta Kerja, karena tidak menjamin wilayah adat dari upaya perampasan oleh pemilik modal.
Hal itu diungkapkan Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Henriana Hatra atau yang akrab disapa Abah Nochi, saat menjadi narasumber diskusi yang bertajuk ‘Omnibuslaw di Tanah Jawara, Mau Bikin Apa?’ yang digelar Pena Masyarakat di Sekretariat Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten, Plaza Aspirasi, KP3B, Kota Serang, Kamis, 27 Juli 2023.
“Kami minta RUU Masyarakat Adat disahkan menjadi Undang-Undang, tapi pemerintah dan DPR malah memberikan UU Cipta Kerja,” kata Abah Nochi mengawali diskusi.
Nochi melanjutkan, RUU Masyarakat Adat sudah lama diusulkan dan dibahas DPR RI sejak periode 2014-2019, namun hingga saat ini DPR dan Pemerintah tidak menginginkan kehadiran UU Masyarakat Adat.
“Dalam UU Cipta Kerja yang beranak pinak menjadi Perppu Cipta Kerja, sangat rawan terjadinya perampasan wilayah adat, karena pengakuan negara hanya kepada masyarakat adat selaku subjek. Sementara wilayah adat sebagai objek justru tidak diakui. Ini sesungguhnya terkesan untuk menggeser masyarakat adat,” bebernya.
Masih dikatakan Nochi, UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi lebih berpihak kepada pemilik modal, bukan pada masyarakat. Hal itu yang membuat gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, utamanya kaum buruh, mahasiswa, aktivis lingkungan dan masyarakat adat.
“Untuk di Provinsi Banten kami bersyukur sudah ada Perda Desa Adat, dimana desa adat paling banyak berada di Kabupaten Lebak. Namun regulasi yang ada di daerah itu, tidak ada artinya dengan disahkannya UU Cipta Kerja,” tuturnya.
Nochi mencontohkan, pemerintah pusat bisa dengan mudah memberikan izin penggunaan wilayah adat untuk tujuan ekstraksi, eksploitasi, dan industrialisasi sumber daya alam (SDA). Termasuk untuk menyukseskan program pembangunan pemerintah atas nama proyek strategis nasional (PSN).
“Kita memang perlu investasi, tetapi juga harus ada keseimbangan-keseimbangan yang tidak merugikan masyarakat adat itu sendiri,” tegas Nochi.
Agar perampasan wilayah adat tidak semakin parah terjadi, dan kerusakan alam bisa dicegah, tambah Nochi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akhir Juli bersepakat untuk kembali memperjuangkan RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan oleh DPR RI.
“Saat ini kami sedang mempersiapkan surat untuk dilayangkan ke DPR RI pada 30 Juli 2023, untuk mendesak RUU Masyarakat Adat segera disahkan,” pungkas Nochi.
Sementara itu, Juru kampanye Trend Asia Novita Indri yang juga menjadi narasumber diskusi mengungkapkan, Trend Asia sebagai Organisasi masyarakat sipil independen di bidang transformasi energi telah mengkaji Omnibuslaw Cipta Kerja.
Berdasarkan hasil kajian itu, ditemukan pasal-pasal yang terkandung dalam UU Cipta Kerja yang diduga disusupi oleh kepentingan pebisnis perusak lingkungan.
“Maka kami bersepakat UU Cipta Kerja ini bertentangan dengan konstitusi dan UU Pokok Agraria,” tegasnya.
Ia melanjutkan, saat menerbitkan Perpu Cipta Kerja, pemerintah berdalih untuk menyelamatkan ekonomi, atas dasar kegentingan krisis iklim, dan krisis pangan. Namun Perpu ini justru melanggengkan perusakan lingkungan oleh negara dan oligarki.
“Sampai pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang, semakin menunjukkan transisi energi yang berulang kali digembar-gemborkan para penyelenggara negara hanya omong kosong,” beber Novita.
Lebih lanjut Novita menjelaskan, dalam pasal 128A misalnya, disebutkan soal royalti nol persen kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP/IUPK) yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara.
Pasal ini disisipkan di antara pasal 128 dan pasal 129 dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Artinya, royalti nol persen ini akan dinikmati bila perusahaan besar batu bara melakukan proyek peningkatan nilai tambah semu melalui kegiatan hilirisasi seperti gasifikasi batu bara.
“Padahal hilirisasi seperti gasifikasi batu bara berpotensi akan menjadi proyek yang merugikan keuangan negara. Selain itu, penggunaan batu bara juga akan memperparah dampak krisis iklim di Indonesia,” tegasnyam
Pasalnya, lanjut Novita, proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan kebutuhan 6 juta ton batu bara akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,26 juta ton CO2-eq/tahun.
Ia menyebut pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-undang merupakan cara pemerintah memberi subsidi paling baru bagi industri batu bara. Selain itu, aturan ini akan terhubung dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini dibahas oleh DPR.
Bagi Novita, hal itu jelas menambah deretan keistimewaan bagi industri energi kotor dalam memperpanjang umur penggunaan batu bara, sumber energi yang dalam proses hulu hingga hilirnya jelas menimbulkan kerusakan dan bencana bagi lingkungan dan manusia.
“Akal-akalan ini hanya akan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi yang dapat memperparah krisis iklim,.yang artinya bertolak belakang dengan alasan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja, dan juga akan menjadi batu sandungan upaya transisi energi,” ujar Novita.
Selain Abah Nochi dan Novita Indri, turut hadir sebagai narasumber diskusi adalah Sunarno (Ketua Umum Konfederasi KASBI), Parid Ridwanuddin (Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional), Firdaus (Pakar Hukum Tata Negara) dan Harits Hijrah Wicaksana (Pakar Kebijakan Publik dan Politik).
Diketahui, UU Cipta Kerja merupakan aturan sapu jagat pertama di Indonesia yang mengamandemenkan sejumlah UU secara sekaligus. Omnibuslaw Cipta Kerja tahun ini telah ditetapkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.