Serang, – Ketua Perkumpulan Maha Bidik Indonesia (PMBI) Mochamad Ojat Sudrajat S menilai apa yang sudah dilakukan oleh Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten sudah melebihi kewenangannya alias offset.
Kewenangan yang dimaksud Ojat yakni sikap Ombudsman Banten terhadap Disdikbud Provinsi Banten terkait dengan persoalan pelaksanaan PPDB online tahun 2021.
“Beberapa waktu yang lalu beberapa pejabat Disdikbud Banten serta OPD lainnya yang terkait dipanggil Ombudsman Banten untuk dilakukan klarifikasi berkenaan dengan polemik PPDB online,” jelasnya, Rabu (7/7/2021).
Dari hasil klarifikasi itu, lanjut Ojat, berdasarkan beberapa pemberitaan di media, Ombudsman menilai ada dugaan indikasi maladministrasi yang dilakukan oleh Disdikbud Banten.
“Sanksinya Ombudsman Banten bisa mengusulkan penundaan kepangkatan sampai penurunan jabatan,” ujarnya.
Hal ini, tambah Ojat, tentu bukan menjadi kewenangan Ombudsman melakukan pengawasan sebagaimana yang diamanatkan UU 37 Tahun 2008.
“Dalam aturan itu Ombudsman hanya memberikan saran kepada DPR dan/atau Presiden atau kepada DPRD dan/atau Kepala Daerah Tingkat I/II untuk melakukan koreksi karena adanya maladministrasi yang terjadi,” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, dalam hal persoalan PPDB online Ombudsman Banten diduga telah melakukan pengabaian kewajiban hukum pada pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi.
Dugaan ini telah disampaikan melalui surat keberatan ke Ombudsman Banten dan ditembuskan ke Ombudsman R.I. Surat keberatan yang dilayangkan oleh PMBI akan dijadikan dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh Ombudsman Banten ke PTUN jika surat yang dilayangkan tidak ditanggapi.
“Adapun keberadaan Pasal 10 UU 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman R.I. yang menyatakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan tidak dapat digugat,” ungkapnya.
Akan tetapi, ungkapnya, dalam penjelasannya dinyatakan Ketentuan ini tidak berlaku apabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
“Dugaan pengabaian kewajiban hukum yang dimaksud adalah pembiaran terjadinya pelaksanaan PPDB berdasarkan zonasi sesuai dengan Permendikbud nomor 1 Tahun 2021 dengan Konsideran PP Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan,” katanya.
Akan tetapi, tambahnya, PP 17 Tahun 2010 sesungguhnya menyebutkan bahwa penerimaan peserta didik baru melalui seleksi hasil ujian nasional, Pasal 74 ayat (4) untuk SMP dan sederajat dan Pasal 82 ayat (4) untuk SMA dan sederajat, bukan berdasarkan sistem zonasi seperti yang dikenal masyarakat selama ini.
Dugaan pengabaian ini diperburuk oleh pengawasan Ombudsman yang diamanatkan UU 37 Tahun 2008 hanya berkutat pada pelaksanaan PPDB saja sehingga dari waktu ke waktu hanya menilai persoalan transparansi, akuntabilitas dan objektifitas, namum luput mengawasi bahwa ada aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan PPDB.
“Padahal koreksi bisa dan wajib dilakukan Ombudsman, sesuai dengan amanat Pasal 8 ayat 2 UU 37 Tahun 2008 Tentang OMBUDSMAN RI,” pungkasnya.
Dugaan pengabaian kewajiban hukum yang dilakukan oleh Ombudsman ini, diakui Ojat, secara langsung dan tidak langsung sesungguhnya telah berkontribusi terhadap kegaduhan yang terjadi selama proses PPDB berlangsung, dimana orang tua siswa, terkadang ikut sibuk dan bahkan stress karena ketidakpastian apakah jarak rumah mereka masuk dalam zonasi sekolah yang mereka pilih atau tidak.
“Itu pula yang saya alami pada tahun 2018, ketika putri kami mengikuti proses PPDB di salah satu SMAN di Kota Rangkasbitung,” tutupnya.(loet)