SERANG, PILARBANTEN.COM – ES telah ditetapkan oleh Kejati Banten sebagai tersangka yang diduga telah melakukan pemotongan bantuan dana hibah Pondok Pesantren Ponpes tahun 2020, sejatinya hanya bagian kecil puzzle dari serangkaian kejahatan yang sudah tersusun dengan sistematis.
Tindakan pemotongan yang dilakukan ES terjadi, lebih karena lemahnya pengawasan dan ketaatan pejabat di lingkungan Pemprov Banten terhadap Peraturan Gubernur nomor 10 Tahun 2019 tentang pedoman pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD Provinsi Banten.
“Pada pasal 16 ayat (1) mengakatan bahwa setiap pemberian hibah dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang di tandatangani Gubernur dan penerima hibah,” kata Wakil Sekretaris Bidang (Wasekbid) Eksternal Badko HMI Jabodetabeka dan Banten, Aliga Abdilah, Rabu (21/4/2021).
Lebih lanjut Aliga mengungkapkan, sedangkan dalam ayat (2) dikatakan bahwa dalam penandatanganan NPHD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gubernur dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah/unit kerja terkait.
“Melihat pasal 16 tersebut, pemberi dan penerima bantuan hibah seharusnya juga ikut dilakukan pemeriksaan. Sebab pemberi Hibah dalam hal ini Pemprov Banten juga patut diduga melakukan kelalaian dan menyalahgunakan wewenang sehingga terjadi kasus pemotongan ini,” jelas Agil.
Menurut pandangan Agil, bahwa apabila ada pondok pesantren yang diduga fiktif, maka secara tidak langsung yang menandatangani NPHD tersebut sama saja dengan menyetujui Ponpes itu menerima bantuan dana hibah
“Maka sebaiknya Kejati Banten dan Polda Banten untuk segera mengarah kepada dugaan pesantren fiktif dan mencari siapa yang menandatangani NPHD yang diduga pesantren fiktif tersebut,” tegasnya.
Agil juga merasa heran ada pesantren fiktif yang menerima bantuan, padahal dalam pasal 8 ayat (2) di Pergub tersebut sudah dinyatakan dengan jelas bahwa evaluasi terhadap permohonan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan memverifikasi persyaratan administratif.
“Kemudian kesesuaian permohonan Hibah dengan program dan kegiatan dalam rangka mendukung penyelenggaraan Pemerintahan, melakukan survei lokasi, mengkaji kelayakan besaran uang yang akan direkomendasikan dan Mengkaji kelayakan jenis dan jumlah barang/jasa yang akan direkomendasikan untuk dihibahkan dan sebagai bahan penyusunan kegiatan/program,” ujarnya.
Oleh karena itu, jika Pergub tersebut tidak dilaksanakan, maka wajar kemudian jika ada Ponpes fiktif penerima hibah. Artinya tim verifikasi yang dibentuk Pemprov Banten dapat diduga tidak melakukan survei kelokasi.
“Saya mendorong secepatnya Kejati Banten atau Polda Banten bertindak dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penyaluran dana hibah itu,” ucapnya.
Ditambahkan Agil, kasus ini sudah menjadi momok buruk yang terulang di Provinsi Banten. Jangan sampai kondisi saat ini ada maling teriak maling, yang teriak-teriak tersebut ternyata malingnya.
“Maka Kejati dan Polda Banten harus cepat bergerak,” tutupnya. (Al/Red)