Pemprov Banten Didorong Audit Laporan Keuangan Bank Banten

oleh -44 Dilihat
oleh

KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Permasalahan tingginya biaya operasional pada laporan keuangan Bank Banten tahun anggaran 2019 menjadi penting dilakukan audit investigasi baik oleh OJK maupun Pemprov Banten melalui akuntan publik.

Hal itu mengingat pada tahun yang berkenaan, Bank Banten juga mengalami peningkatan status menjadi Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) oleh OJK pada pertengahan Juni 2019. Namun disisi lain, jajaran direksi Bank Banten tidak melakukan efesiensi biaya operasional.

Pengamat ekonomi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang Elvin Bastian mengatakan, terkait biaya operasional yang terus meningkat ini, OJK harus melakukan due diligency terhadap kinerja direksi bank Banten, atau bisa juga Pemprov Banten selaku Pemilik Saham Pengendali Terakhir (PSPT), lewat akuntan publiknya yang ditunjuk.

“Harus di dalami ini. Ketika laba menurun, bahkan minus, cost operasional ko masih tetap tinggi. Bila perlu dilakukan audit investigasi. Bener ga ini masalahnya di inefesiensi,” katanya, Jumat (25/7/2020).

Menurut Elvin, dalam entitas bisnis, cost recovery atau harga pokok itu harus tertutup terlebih dahulu, baru kemudian bicara laba. Jika cost recovery belum bisa tertutupi, maka jangan terlebih dahulu berbicara laba. Yang harus dilakukan adalah evaluasi, salah satunya efesiensi biaya operasional.

“Bedah-bedahan bisnis harus dilakukan. Jangan melulu berkutat dalam hal politisnya, sementara permasalahan di bisnisnya tidak disentuh. Karena sebagai entitas bisnis, hal ini tentu harus menjadi perhatian serius,” ujarnya.

Doktor alumni Universitas Diponegoro Semarang ini melanjutkan, sebagai Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang seumur jagung dan sudah Tbk, wajar kemudian banyak tekanan politik, baik dari Pemda maupun DPRD. Hal itu sudah menjadi rahasia umum, dimana-mana juga terjadi. Akan tetapi, tambahnya, profesionalisme tetap harus diutamakan dalam menagemen usaha, ditambah lagi ini usahanya perbankan yang sangat rizit dan pruden.

“Saya rasa para direksi juga paham prioritas penyelamatannya. Hal itu tentu akan mudah dilakukan, jika tidak ada interpensi dari pihak manapun. Menagemen bila perlu mundur jika ada tekanan politik. Harus profesional. Meskipun bisnis perbankan itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk benar-benar stabil dan bisa melakukan ekspansi usaha seperti BCA dan BNI,” jelasnya.

Akan tetapi, lanjut Elvin, kalau dalam pengelolaannya terjadi miss manajemen, yang seharusnya melakukan efesiensi malah inefesiensi, maka berapapun modalnya yang digelontorkan akan sia-sia. Angka Rp1,5 triliun itu, menurut Elvin, jika dikomparasikan dengan kasus penggabungan beberapa bank menjadi bank mandiri pada tahun 1998 silam itu, hitungannya masih kecil. Bagaimana pada saat itu pemerintah menggelontorkan APBN-nya sekitar Rp256 triliun untuk menjaga stabilitas perbankan pada saat itu, namun hanya beberapa saja yang selamat.

“Kemudian muncul kasus hutang di bawah Cassie Bank Bali, kasus Joko Chandra dan sebagainya. Semua ini terjadi karena kesalahan dalam mapping persoalan pundamental yang di alami perbankan pada saat itu, dan hal ini jangan sampai terjadi pada Bank Banten,” tegasnya.

Diakui Elvin, yang menjadi catatan dalam penambahan modal untuk Bank Banten ini adalah jangan sampai Rp1,5 triliun itu hanyut lagi tidak menjadi apa-apa, dengan alasan modal yang diberikan tidak sesuai dengan rekomendasi OJK sebesar Rp3 triliun. Hal ini harus benar-benar diperhatikan, agar direksi Bank Banten ini tidak lagi mengalami miss managemen atau salah urus.

“Jajaran direksi Bank Banten harus bisa memetakan skala prioritas penyehatan seperti Dana Pihak Ketiga (DPK), recovry aset yang potensial serta perbaikan image Bank Banten di masyarakat setelah adanya kasus saat ini. Itu yang penting dilakukan. Meskipun kalau saya lihat proses penyehatannya ini akan memakan waktu lebih dari satu tahun, tapi jika didukung oleh kinerja yang bagus dan juga dukungan dari seluruh stackholder, saya yakin Bank ini akan sehat,” katanya.

Hal yang sama juga diakui oleh jajaran direksi di internal PT BGD. Menurut salah satu sumber internal di dalam, pada tahun 2018 posisi BUMD BGD masih mengalami kerugian besar.

Atas hal itu, yang pertamakali dilakukan oleh jajaran direksi kemudian adalah efesiensi, baik itu biaya operasional maupun jumlah pegawai, karena cost belanja pegawai ini menjadi beban tetap yang setiap bulan harus dikeluarkan.

“Dengan dana yang ada, kita jelaskan kepada seluruh karyawan kondisi keuangan yang sebenarnya. Kemudian kita tawarkan untuk melakukan pensiun dini dengan tetap memberikan hak-hak mereka,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, jajaran direksi juga menerima gaji hanya 50 persen, karyawan hanya disisakan tiga orang. Alhamdulillah setelah dua tahun berjalan, BGD sudah mendapatkan untung.

“Masalahnya hal seperti ini dilakukan tidak di Bank Banten. Apakah gaji para direksi, komisaris dan karyawan tetap utuh di tengah masa kesulitan seperti ini. Kalau tetap utuh, dimana letak efesiensinya,” tanyanya. (Rey/Al)