Paradoks Penegakan Hukum: Antara Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan

oleh -23 Dilihat
oleh

SERANG, PILARBANTEN.COM – Penegakan hukum seringkali diibaratkan sebagai proses menyeimbangkan tiga pilar fundamental: Kepastian Huku, Kemanfaatan, dan Keadilan. Dalam teori, ketiganya harus bersinergi. Namun, dalam realitas praktik di Indonesia, kita kerap dihadapkan pada sebuah paradoks: ketika salah satu nilai dikedepankan, dua nilai lainnya seolah tergerus.

Inilah inti dilema yang terus menghantui sistem hukum kita.

Kepastian yang Kaku dan Keadilan yang Terluka

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum akan diterapkan secara konsisten, terstruktur, dan dapat diprediksi. Nilai ini esensial bagi ketertiban dan investasi. Ketika hukum jelas, warga negara tahu konsekuensi dari tindakannya, dan penegak hukum memiliki panduan yang tegas.

Namun, di Indonesia, mengejar kepastian hukum sering kali berarti terjebak pada legalisme buta. Hukum diterapkan secara harfiah, kaku, dan tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau hati nurani. Kasus-kasus kecil yang menimpa rakyat jelata, di mana hukum diterapkan secara maksimal demi ‘kepastian’, seringkali melukai rasa keadilan publik. Ketika nenek yang mengambil sedikit buah cokelat dihukum berat, sementara koruptor kakap mendapatkan diskon hukuman, di situlah kepastian hukum telah menjadi mesin tanpa empati.

Baca Juga:  Wagub Banten A Dimyati Natakusumah : Mahasiswa Dapat Berkolaborasi Konstruktif Dengan Pemerintah

Kemanfaatan yang Oportunistik

Kemanfaatan (utilitas) hukum adalah tujuan agar hukum membawa manfaat atau maslahat bagi masyarakat. Konsep ini menuntut hukum untuk menjadi *law as a tool of social engineering*, sarana pembangunan dan perbaikan masyarakat.

Sayangnya, dalam praktik, kemanfaatan sering dimaknai secara dangkal atau bahkan oportunistik. Kebijakan atau regulasi baru, misalnya dalam sektor ekonomi atau pertambangan, sering didorong dengan dalih “demi kemanfaatan dan percepatan pembangunan”, namun prosesnya mengabaikan partisipasi publik yang sejati dan berpotensi merampas hak-hak kelompok rentan. Kemanfaatan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite bukanlah kemanfaatan publik yang sejati, melainkan justifikasi bagi kepentingan sesaat.

Keadilan: Mahkota yang Hilang

Baca Juga:  Dilema Papua: Mencari Keseimbangan Antara Keamanan dan Keadilan, Di Tengah Pergulatan Tokoh-Tokoh Penting

Menurut filsuf hukum, Gustav Radbruch, jika terjadi konflik antara tiga nilai ini, keadilan-lah yang harus diutamakan. Keadilan yang sejati adalah keadilan yang restoratif, yang memberikan perlindungan dan pemulihan, bukan sekadar pembalasan. Keadilan harus memiliki wajah kasih sayang (*humanity*) dan berakar pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Keadilan sulit dicapai ketika dua pilar lainnya tidak seimbang. Kepastian yang kaku melahirkan ketidakadilan. Kemanfaatan yang parsial melahirkan ketidakadilan. Gejala “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas” adalah bukti paling nyata bahwa mahkota keadilan telah jatuh.

Mencari Titik Ekuilibrium

Lalu, bagaimana penegak hukum seharusnya bertindak dalam menghadapi paradoks ini?

1. Hakim sebagai Penemu Hukum: Hakim, sebagai ujung tombak keadilan, tidak boleh hanya menjadi “corong undang-undang” . Mereka harus berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), menafsirkan norma dengan hati nurani, dan mempertimbangkan nilai kemanfaatan yang lebih besar bagi kemanusiaan, terutama bagi pihak yang lemah.

Baca Juga:  Aliansi DEMA PTKIN Bersama BEM Serang Raya Dorong Pilkada 2024 Berlangsung Damai

2. Moralitas Aparatur: Tidak ada sistem hukum yang sempurna jika moralitas aparaturnya cacat. Integritas dan etika penegak hukum—dari polisi, jaksa, hingga hakim—adalah kunci. Moralitas akan memastikan bahwa kepastian tidak menjadi kesewenang-wenangan, dan kemanfaatan tidak menjadi pembenaran korupsi.

3. Keterlibatan Publik: Proses legislasi dan penegakan hukum harus lebih transparan. Opini publik harus diakui sebagai indikator *legal culture* (budaya hukum) yang perlu diperhatikan, meskipun bukan satu-satunya penentu putusan.

Menggapai negara hukum yang tepat bukanlah tentang memilih salah satu dari tiga pilar tersebut, melainkan tentang menemukan titik ekuilibrium. Jika kepastian adalah fondasi, dan kemanfaatan adalah atap, maka keadilan adalah oksigen yang memberi kehidupan pada seluruh bangunan. Hanya dengan mengutamakan keadilan, barulah kepastian dan kemanfaatan akan mengikuti secara bermartabat.

NAMA MUHAMMAD DAVI JANUARSYAH
NIM:251090200352
Di Universitas Pamulang PDSKU Kota Serang