KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Di lihat dari foto udara citra satelit Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Banten, luas baku lahan pertanian di Kabupaten Tangerang dari tahun 2018 sampai 2019, mengalami rekor tertinggi terjadinya alih fungsi lahan pertanian, mengalahkan Kabupaten Serang yang sejak tahun 2013 selalu menjadi juara pertama kasus alih fungsi lahan.
Sekretaris Lembaga Kajian Agraria Damar Leuit Provinsi Banten Angga Hernanda mengatakan, berdasarkan hasil kajian Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung menyebutkan, dalam kurun waktu tahun 2019, di Kabupaten Tangerang terjadi kasus alih fungsi lahan seluas 482,07 ha, Kabupaten Serang seluas 223,39 ha, Kota Serang seluas 68,55 ha, Kota Cilegon seluas 88,23 ha, dan Kota Tangerang seluas 36,69 ha.
“Kabupaten Tangerang menjadi yang tertinggi menyalip Kabupaten Serang yang pada tahun 2013-2018 selalu menempati posisi pertama daerah dengan penurunan lahan pertanian tertinggi di Provinsi Banten, dengan luas lahan 14.639 ha. Kemudian diikuti masing-masing oleh Kab. Tangerang dan Kab. Pandeglang seluas 8.979 ha dan 3.455,” katanya saat dihubungi, Jamat, (26/6/2020).
Walaupun demikian, lanjut Angga, dalam lima tahun terakhir secara persentase Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang paling tinggi mengurangi luas lahan sawahnya sebesar 75%, dari semula 213 ha pada tahun 2013, menjadi hanya tersisa 54 ha saja pada tahun 2018. Hal serupa juga terjadi di Kota Tangerang yang luas lahan sawahnya berkurang sebesar 43%, dari 815 ha pada tahun 2013 menjadi 463 ha pada tahun 2018.
“Sebagian besar alih fungsi lahan pertanian di Provinsi Banten terjadi karena pengembangan perumahan, industri, infrastruktur, dan yang lainnya,” katanya.
Angga melanjutkan, situasi ini sangat sering dijumpai di daerah perkotaan sebagai kompensasi pergeseran masyarakat dari pertanian ke industri dan jasa. Kenyataan ini kian mengkhawatirkan bila merujuk data BPS tahun 2019 yang menyebutkan bahwa sekitar 150 ribu petani baik di bidang perkebunan, persawahan atau perhutanan di Provinsi Banten memilih meninggalkan tanah pertaniannya.
“Sehingga pada tahun 2018, total luas lahan baku sawah di provinsi Banten tercatat sebesar 196.285 hektar dan total luas lahan pertanian secara keseluruhan seluas 706.939 ha,” tuturnya.
Angga melihat, keseriusan pemerintah bisa dilihat dari menjalankan mandat Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Perda PLP2B). Penilaian ini patut disematkan karena dari segi sejarah kelahiran, Perda PLP2B didorong oleh petani yang tergabung dalam SPI Banten, para aktifis dan organisasi kemahasiswaan. Tepatnya saat memperingati hari tani tahun 2013 di KP3B.
“Peraturan yang juga penting di Banten adalah perda tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. Apakah sudah disahkan? Karena selalu menjadi langganan prolegda setiap tahun. Demikian juga perda pangan, yang menjaga agar banten tidak krisis pangan dan menjadi peta jalan mewujudkan kedaulatan pangan di Banten,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) ATR/BPN Provinsi Banten Tenti Abeng saat dikonfirmasi mengatakan, untuk tahun ini pihaknya sedang fokus melaksanakan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Tenri mengatakan, di Provinsi Banten diperkirakan terdapat 4.093.700 bidang tanah. Dari total itu, hanya baru 67,94 persen yang tersertifikasi atau sekitar 2.781.422 bidang, dan menyisakan 1.312.278 atau sekitar 32,06 persen.
“Target tahun 2023 selesai. Sampai sekarang progresnya masih berlangsung,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Pertanian (Distan) Provinsi Banten Asep Mulya Hidayat mengatakan, bagi Pemkab/Pemkot yang ada rencana melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), hendaknya melakukan kordinasi terlebih dahulu ke Pemprov Banten. Sehingga bisa terintegrasi, yang nantinya ada korelasi untuk lahan pangan Abadi.
Data itu ada di masing-masing daerah, baik RTRW maupun total lahan abadi. Tapi yang jelas setiap daerah memiliki lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang bisa digunakan untuk ditanam, tetapi tidak digunakan.
“Harusnya itu dievaluasi, supaya cepat bisa digunakan. Bukan justru melakukan alih fungsi lahan,” katanya.
Asep melanjutkan, dari delapan Kab/Kota, hanya Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang sudah menggunakan lahan HGU untuk dimanfaatkan oleh petani setempat, sementara untuk daerah lainnya sampai sekarang belum ada laporan.
“Ini sudah lama dibiarkan. Seharusnya mereka mengikuti dua kabupaten yang sudah memanfaatkan lahan HGU,” ujarnya. (Rey/Al)