Serang, – Sudah sejak puluhan tahun kawasan pasar lama menjadi icon pusat perbelanjaan kelapa muda. Dari panjang kawasan pasar sekitar 1 kilometer, hampir seperempatnya digunakan oleh pedagang kelapa muda.
Para penjaja kelapa muda itu mayoritas berasal dari Kota Serang dan sekitarnya, pun dengan kelapa muda yang mereka dapatkan. Bahkan sebagian diantaranya merupakan pedagang generasi kedua yang meneruskan dari orang tua mereka.
Pasar lama dengan kelapa muda ibarat dua sisi mata uang, dimana satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Beberapa kali Pemerintah Kota (Pemkot) Serang merelokasi pedagang ini ke pasar Kepandean bersama pedagang lainnya, namun tak bertahan lama mereka kembali lagi ke pasar lama.
Langkah Pemkot Serang merelokasi itu bukan tanpa alasan. Sebab puluhan pedagang kelapa ini, hampir sebagian besarnya menggunakan lahan parkir kendaraan di median jalan.
Akhirnya, lahan parkir yang seharusnya bisa menjadi pemasukan retribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Serang, tidak bisa terpenuhi dengan maksimal.
Selain membuat kesemrawutan, juga yang pasti pedagang kelapa muda itu menjadi penyebab utama kemacetan yang terjadi di pasar lama hingga sampai saat ini, terutama mereka yang berjualan menggunakan median jalan.
Para pedagang itu juga menyadari, jika apa yang mereka lakukan itu tidak dibenarkan. Akan tetapi karena keberadaan mereka ‘dipelihara’, sehingga sampai sekarang eksistensi mereka masih tetap bertahan.
“Kita juga tahu kalau berjualan menggunakan median jalan itu tidak boleh, tapi setiap hari kita bayar seseran. Baik yang resmi maupun yang tidak resmi,” kata seorang pedagang kelapa muda yang menggunakan median jalan, Ruslan, minggu (13/2/2022).
Ruslan mengatakan, berdasarkan perhitungan dirinya, dalam sehari ia bisa mengeluarkan uang sebesar Rp30.000 hanya untuk biaya seseran dan retribusi resmi. Biaya itu diperuntukkan retribusi sampah dua kali, keamanan, listrik dan iuran RW.
“Biaya retribusi sampah itu juga dua kali, yang ada karcisnya Rp2.000, dan yang ga ada karcisnya Rp10.000,” katanya.
Hal yang sama juga dialami oleh pedagang kelapa lainnya, Jumri. Selain biaya di atas, Jumri juga mengaku setiap harinya harus membayar biaya penggunaan lahan parkir.
Uang itu biasanya diambil oleh warga setempat, yang tidak menggunakan seragam dinas. Jumri dan puluhan pedagang kelapa lainnya biasa menyebut kordinator. Dari kordinator itu kemudian uang itu diduga mengalir ke sejumlah pihak.
“Kayanya itu ilegal, sebab tidak ada karcisnya. Selain itu, uangnya juga kan bukan diambil dari jasa parkir,” ucapnya.
Jumri yang sudah puluhan tahun berjualan kelapa muda di pasar lama itu menambahkan, dalam sebulan ia hitung-hitung besaran uang yang ia keluarkan untuk seseran itu bisa mencapai Rp500.000. Karena setiap hari uang seseran itu bisa mencapai Rp40.000.
Atas hal itu, dirinya kemudian memberanikan diri untuk menyewa ruko, meskipun seseran ilegal itu masih ada, namun nominal yang ia keluarkan tidak sebesar ketika waktu berjualan di lahan parkir.
“Lumayan aja bedanya. Terus lebih aman juga kalo udh ada rukonya. Setidaknya ga keujanan dan kepanasan,” ucapnya.
Jumri melanjutkan, belakangan dirinya tidak mau dipusingkan dengan semua hal itu. Karena ia meyakini di dunia pasar, hal seperti itu tidak akan pernah hilang. Pasti ada saja yang memanfaatkan.
Oleh karenanya, ia sudah menganggapnya sebagai bentuk shodaqoh. “Toh mereka juga ga maksa mintanya. Kalau ada ya dikasih, kalau emang lagi ga ada mah ya lewat,” tambahnya.
Secara pribadi Jumri tidak mempersoalkan perihal besaran uang seseran yang dibebankan kepadanya setiap hari itu, asalnya uang yang ia berikan disalurkan berdasarkan aturan yang berlaku.
Jangan sampai uang itu dinikmati oleh sekelompok orang, apalagi oknum pejabat atau ASN yang sudah jelas-jelas mendapat gaji yang besar dari negara.
“Mereka kan sudah mendapat gaji, kalau masih juga memanfaatkan dari kita-kita ini sebagai masyarakat kecil, terlalu amat,” ungkapnya.(loet)