Ada Potensi Kesulitan Likuiditas, Pempov Masih Gantung Nasib Penyertaan Modal Bank Banten

oleh -44 Dilihat
oleh

KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM –  Pempov Banten hingga kini belum menentukan sikap terkait pencairan penambahan penyertaan modal untuk Bank Banten (BB) sebesar Rp1,551 triliun. Padahal sebelumnya, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) sudah menegaskan ke DPRD Banten, bahwa pihaknya telah memerintahkan kepada BPKAD segera mengeluarkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Banten Al Muktabar usai menghadiri rapat badan anggaran (Banggar) di GSG DPRD Banten, Rabu (18/11/2020) mengaku tidak mengetahui akan perintah WH kepada Kepala BPKAD, Rina Dewiyanti. Menurutnya, sebuah kebijakan penyehatan BB harus dilakukan hati-hati.

“Masalah itu (SP2D) nanti kita lihat. Saya tidak tahu betul soalnya karena itu urusan Bendahara Umum Daerah (BUD, Rina Dewiyanti). Sehingga saya belum tahu perkembangannya,” katanya.

Akan tetapi, lanjutnya, semua proses penyehatan BB masih berjalan  sesuai dengan kewenangannya masing-masing, mengingat dalam proses ini banyak pihak yang terlibat seperti PT Banten Global Development (BGD), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BB serta pemprov dengan DPRD yang kesemua itu sedang berjalan.

“Semuanya masih smooth prosesnya, seperti yang kita semua harapkan,” ujarnya.

Ditanya terkait keseriusan Pempov Banten dalam penyehatan BB, pihaknya menilai yang berperan penting dalam proses ini adalah BGD selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP), bukan Pemprov Banten. Posisi Pemprov Banten selaku Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT)  ada pada sisi penyertaan modal saja.

“Ruang paling vital itu ada di BGD sebagai PSP, kami hanya lebih mendukung,” ujarnya.

Terpisah pengamat ekonomi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Elvin Bastian mengatakan, terkait biaya operasional yang terus meningkat, OJK harus melakukan due diligence atau uji tuntas terhadap kinerja Direksi BB, atau bisa juga Pemprov Banten selaku PSPT, lewat akuntan publiknya yang ditunjuk.

“Harus didalami. Ketika laba menurun, bahkan minus, cost operasional kok masih tetap tinggi. Bila perlu dilakukan audit investigasi. Bener nggak masalahnya di inefisiensi,” katanya.

Menurutnya, dalam entitas bisnis, cost recovery atau harga pokok  itu harus tertutup terlebih dahulu, baru kemudian bicara laba. Jika cost recovery belum bisa tertutupi, maka jangan terlebih dahulu berbicara laba. Yang harus dilakukan adalah evaluasi, salah satunya efisiensi biaya operasional.

“Bedah-bedahan bisnis harus dilakukan. Jangan melulu berkutat dalam hal politisnya, sementara permasalahan bisnisnya tidak disentuh. Karena sebagai entitas bisnis, hal ini tentu harus menjadi perhatian serius,” ujarnya.

Doktor alumni Universitas Diponegoro Semarang itu melanjutkan, sebagai Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang seumur jagung dan sudah Tbk, wajar kemudian banyak tekanan politik, baik dari pemerintah daerah (Pemda) maupun DPRD. Hal itu sudah menjadi rahasia umum, dimana-mana juga terjadi. Akan tetapi, tambahnya, profesionalisme tetap harus diutamakan dalam manajemen usaha, ditambah lagi usaha perbankan yang sangat rigid dan prudent.

“Saya rasa para direksi juga paham prioritas penyelamatannya. Hal itu tentu akan mudah dilakukan, jika tidak ada intervensi dari pihak manapun. Manajemen bila perlu mundur jika ada tekanan politik. Harus profesional. Meskipun bisnis perbankan itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk benar-benar stabil dan bisa melakukan ekspansi usaha seperti BCA dan BNI,” jelasnya.

Akan tetapi, lanjut Elvin, kalau dalam pengelolaannya terjadi miss management, yang seharusnya melakukan efisiensi malah inefisiensi, maka berapapun modalnya yang digelontorkan akan sia-sia. Angka Rp1,551 triliun itu, menurut Elvin, jika dikomparasikan dengan kasus penggabungan beberapa bank menjadi bank mandiri pada tahun 1998 silam itu, hitungannya masih kecil. Bagaimana pada saat itu pemerintah menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp256 triliun untuk menjaga stabilitas perbankan pada saat itu, namun hanya beberapa saja yang selamat.

“Kemudian muncul kasus hutang dibawah Cessie Bank Bali, kasus Joko Chandra dan sebagainya. Semua ini terjadi karena kesalahan dalam mapping persoalan fundamental yang dialami perbankan pada saat itu, dan hal ini jangan sampai terjadi pada Bank Banten,” tegasnya.

Diakui Elvin, yang menjadi catatan dalam penambahan modal untuk BB ini adalah jangan sampai Rp1,551 triliun itu hilang lagi, dengan alasan modal yang diberikan tidak sesuai dengan rekomendasi OJK sebesar Rp3 triliun. Hal ini harus benar-benar diperhatikan, agar Direksi BB ini tidak lagi mengalami miss management atau salah urus.

“Jajaran Direksi Bank Banten harus bisa memetakan skala prioritas penyehatan seperti Dana Pihak Ketiga (DPK), recovery aset yang potensial serta perbaikan image Bank Banten di masyarakat setelah adanya kasus saat ini. Itu yang penting dilakukan. Meskipun kalau saya lihat proses penyehatannya ini akan memakan waktu lebih dari satu tahun, tapi jika didukung oleh kinerja yang bagus dan juga dukungan dari seluruh stakeholder, saya yakin Bank ini akan sehat,” katanya.

Diberitakan  sebelumnya, Ketua Komisi III DPRD  Banten, Gembong R Sumedi mengungkapkan, pada saat dirinya melakukan  rapat koordinasi bersama WH di rumah dinasnya di Sumur Pecung, Kota Serang  mendapati keseriusan pemprov dalam penyehatan BB. Dalam kesempatan tersebut WH  mengaku  akan memerintahkan kepada Kepala BPKAD agar segera mencairkan uang Rp1,551 triliun tambahan modal BB melalui PT BGD. (Al/Rey)