KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Perlahan mulai terurai, persoalan benang kusut di Bank Banten ternyata tidak hanya persoalan kredit macet peninggalan Bank Pundi sebesar Rp3,6 triliun, namun juga ada dugaan kredit fiktif komersial yang terjadi sekitar tahun 2017 yang diduga merugikan keuangan negara berkisar Rp188 miliar.
Dampak dari kredit macet itu, Bank Banten kemudian mendapat sorotan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang kemudian menaikkan statusnya menjadi Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) melalui surat OJK dengan nomor SR-83-PB.31/2019 tanggal 17 Juni 2019. Padahal, sebelum tahun 2017 kondisi Bank Banten masih dalam status normal meskipun perseroan masih mengalami kerugian.
Kasus dugaan kredit komersial fiktif ini sekarang sudah ditangani oleh Bareskrim Polri atas aduan dari salah satu warga Banten, Ojat Sudrajat. Aduan itu sudah diregistrasikan pada hari Senin (27/7/2020) kemarin. Ojat sendiri sudah dimintai keterangan dalam gelar perkara bersama Bareskrim Polri pada hari Kamis (30/7/2020) kemarin. Hari itu, selain melakukan gelar perkara bersama Ojat, Bareskrim juga sebelumnya telah melakukan gelar perkara bersama OJK terkait permasalahan dugaan kredit fiktif di Bank Banten.
Saat dikonfirmasi Ojat mengaku, dalam waktu dekat kasusnya Insya Allah akan memasuki tahap penyidikan atas dugaan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang perbankan pasal 49. Ojat melanjutkan, setelah dilakukan pendalaman, dalam gelar perkara yang juga menghadirkan OJK itu terungkap bahwasannya dugaan kredit fiktif itu berasal dari beberapa kredit komersial, salah satunya dari PT X (inisial) dengan jumlah besaran kredit yang diberikan oleh jajaran managemen Bank Banten. Dari beberapa penerima kredit fiktif itu total besaran dana yang diberikan mencapai Rp188 miliar.
“Jika memang pinjaman kredit itu tidak fiktif, seharusnya tidak menjadi kredit macet karena ada agunan yang bisa dimanfaatkan oleh managemen Bank Banten untuk menutupi itu. Pemprov Banten selaku Pemilik Saham Pengendali Terakhir (PSPT) juga seharusnya bisa mengambil langkah konkrit terkait dengan dugaan kredit fiktif yang terjadi sekitar tahun 2017 ini,” tegasnya.
Sedangkan untuk dugaan pemalsuan nilai Non Performance Loans (NPL) atau kredit macet dalam laporan keuangan Bank Banten tahun 2019 yang secara tertulis nilainya 4,0 persen, Ojat mengaku ini sangat bertolakbelakang dengan hasil Legal Opinion (LO) dari Kejagung yang menyebutkan NPL Bank Banten pada tahun 2019 sudah berada di atas 5 persen.
“LO tersebut sejalan dengan Peraturan OJK (POJK) nomor 15/POJK.03/2017 pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa, salah satu faktor pemberian status BDPI adalah karena nilai NPL bank yang bersangkutan lebih dari 5 persen,” katanya.
Ditambahkan Ojat, karena Bank Banten ini merupakan bank plat merah, maka akan dilakukan juga audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Banten terkait kemungkinan dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Ya. Semuanya harus diusut tuntas. Jika jajaran managemen akan dilakukan restrukturisasi, harus dilakukan audit internal dulu. Jika ada dugaan indikasi pelanggaran hukum, tentu harus ditindak tegas,” katanya.
Dalam dokumen yang redaksi miliki, yang validitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum menyebutkan, ada kredit macet dari sektor kredit komersial sebesar Rp188 miliar atau sebesar 25 persen dari total dana outstanding kredit komersial sebesar Rp742 miliar. Selain itu ada juga kredit konsumer sebesar Rp37 miliar dari total dana outstanding sebesar Rp2,7 triliun atau sebesar 1,37 persen.
Direktur Utama Fahmi Bagus Mahesa maupun staf Bank Banten lainnya ketika dikonfirmasi terkait hal ini bungkam tidak memberikan jawaban.
Namun mengutip dari rilis Bank Banten setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) beberapa waktu yang lalu, meskipun masih besar kredit macet karena diduga ada kredit fiktif, namun tahun ini perseroan masih memprioritaskan bisnisnya pada segmen kredit konsumer dan kredit komersial. “Perseroan masih fokus ke situ,” kata Fahmi.
Sementara itu salah satu direksi PT BGD Fathoni mengaku tidak tahu menahu terkait angka itu. Karena menurut Fathoni, dalam laporan keuangan Bank Banten tidak pernah muncul angka itu, sehingga dirinya tidak mengetahui.
“Coba cek lagi di laporan keuangan yg dipublikasikan, ada ga? Khawatirnya saya kelewat tidak terbaca,” katanya.
Ketidaktahuan juga dikatakan ketua komisi III DPRD Banten Gembong R Sumedi saat dikonfirmasi. Melalui pesan singkatnya Gembong mengaku tidak mengetahui perincian kredit macet tersebut.
“Waduh, saya ga tau ya itu. Coba tanya ke BGD, karena dalam setiap rapat dengan Bank Banten juga angka itu tidak pernah muncul. Nanti coba tanyakan lagi ke jajaran Bank Banten,” ujarnya. (Rey/Al)