Ini Alasan Kenapa Generasi Muda Harus Punya “Growth Mindset”

oleh -36 Dilihat
oleh

Jakarta, – Chief Executive Officer (CEO) Global Tanoto Foundation Satrijo Tanudjojo
mengajak generasi muda memiliki growth mindset atau pemikiran tidak mudah menyerah yang sangat diperlukan pada masa kini.

“Hal itu dikarenakan growth mindset mendorong generasi muda untuk lebih cepat bergerak dan menghadapi segala hal dengan sikap positif,” katanya dalam Tanoto Scholars Virtual Gathering Tanoto Foundation (TSG) 2020 hari kedua, seperti dikutif kompas.com Selasa (11/07/2020).

Satrijo menambahkan, menurut Carol Dweck, profesor yang aktif mengajar di Stanford University, California, AS, generasi muda yang memiliki growth mindset mampu memperbaiki diri dengan melihat sisi kelemahannya dalam segala hal.

Adapun ciri generasi muda yang memiliki growth mindset biasanya mempunyai kemampuan literasi atau membaca yang tinggi.

“Dengan memiliki cara berpikir growth mindset yang bersifat dinamis, generasi muda dapat
menyesuaikan kondisi dan perkembangan jaman saat ini,” tutur Satrijo.

Namun, berdasarkan data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) PISA Score 2018, Indonesia disebutkan memiliki skor growth mindset yang rendah.

“Itu artinya, mayoritas generasi muda di Indonesia belum siap dengan adanya perkembangan dan pembaharuan,” tuturnya.

Kondisi itu, kata dia, disebut dengan fixed mind atau seseorang yang berpikir tetap dan lebih suka berada di zona nyaman, sehingga mengakibatkan pola pikirnya sulit berkembang.

“Contoh pola fixed mind dalam keseharian, pelajar Indonesia sedari kecil sudah dibatasi dengan larangan dan tantangan sehingga perkembangan intelegensinya kurang maksimal,” jelasnya.

Sebagai informasi, Stevi adalah alumni Universitas Indonesia (UI) yang menerima beasiswa master program IT for bussines dari Tanoto Foundation selama dua tahun di Eropa.

Ia menceritakan, perkuliahannya di Berlin, Jerman mengalami berbagai tantangan yang tidak mudah dan menuntutnya untuk terus growth mindset atau berpikir dinamis.

Salah satu tantangan, yakni proses belajar yang mengharuskannya berpindah negara dari Prancis ke Jerman.

“Tentu saja, di situ saya harus berpikir dinamis dan menyesuaikan keadaan yang baru lagi, karena di Jerman, khususnya Berlin ini, lulusan IT memang sangat dibutuhkan,” jelasnya.

Tak hanya itu, Stevi mengaku, tingginya angka kasus Covid-19 di Jerman menjadi tantangan karena proses new normal di wilayahnya dilakukan dengan ketat dan bertahap.

“Jadi saya harus bisa beradaptasi dan selalu update keadaan dan kebijakan di masing-masing daerah,” jelasnya.

Senada dengan Stevi, alumni Tanoto Schollar 2008, Achmad Nanang Maulana menceritakan
pengalamannya berproses dan berkembang hingga berhasil menjadi arsitek di beberapa negara, seperti Singapura, China dan India.

“Setiap negara tersebut tentunya juga memiliki tantangan di setiap proyek pembangunannya,” tutur Maulana.

Untuk mengatasi tantangan itu, ia selalu menerapkan growth mindset dengan menerapkan toleransi dan mengikuti budaya setempat.

“Misalnya ketika di Singapura yang masyarakatnya multikultural, kami tetap memberikan waktu dan fasilitas untuk beribadah sesuai agama masing-masing, sehingga terbentuk kerja sama yang baik meskipun berasal dari berbagai negara berbeda,” jelasnya.(kompas.com/Red)