Bank Banten Berpotensi Merugi Besar, Sementara Paket Remunerasi Pimpinan Fantastis

oleh -48 Dilihat
oleh

KOTA SERANG, PILARBANTEN.COM – Dana Bagi Hasil (DBH) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak sebesar Rp7,03 Miliar hingga kini belum bisa dicairkan di Bank Banten. Dana tersebut merupakan alokasi bulan Februari 2020 yang seharusnya sudah masuk ke RKUD Pemkab Lebak.

Kepala Badan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Lebak Budi Santoso saat dihubungi membenarkan pihaknya hingga kini belum menerima DBH dari Pemprov Banten untuk alokasi bulan Februari 2020.

“Dana Bagi Hasil Pajak Provinsi untuk Kabupaten Lebak alokasi bulan Februari sebesar Rp.7.034.000.000 sampai saat ini belum disalurkan ke RKUD Kab Lebak, dan hasil koordinasi dengan BPKAD Provinsi Banten masih ada di Bank Banten,” katanya, Jumat (18/12/2020).

Budi menambahkan, jika sampai akhir tahun 2020 dana tersebut belum bisa disalurkan ke RKUD Pemkab Lebak, dirinya akan meminta Bank Banten untuk membuat pengakuan hutang tertulis sebesar nilai di atas, sehingga Pemkab Lebak punya Piutang di Bank Banten.

“Kemungkinan tujuh Kab/Kota yang lain juga sama, nominalnya juga kayanya lebih besar dari kami,” ujarnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, alokasi DBH pada bulan Februari untuk delapan Kab/Kota yang hingga saat ini belum bisa dicairkan mencapai Rp180 miliar.

Menanggapi hal ini, penggugat permasalahan Bank Banten di Bareskrim Mabes Polri Ojat Sudrajat menganalisa bahwasannya tambahan setoran modal dari Pemprov Banten senilai Rp1,551 triliun ke Bank Banten itu terbukti belum dapat menyelesaikan permasalahan di Bank Banten, karena Bank Banten sampai saat ini belum juga membagikan DBH kepada 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

“Apabila sampai akhir tahun anggaran 2020 ini, yang tinggal tujuh hari kerja, DBH tersebut belum disalurkan juga ke RKUD Kab. Lebak, maka Pemkab Lebak, dalam hal ini BPKAD, memiliki piutang di Bank Banten,” ujarnya.

Ojat juga mempertanyakan apakah DBH sebesar Rp180 miliar itu juga akan dipaksakan menjadi dana penyertaan modal seperti dana Pemprov Banten yang senilai Rp1,551 triliun. Jika hal ini terjadi, ini menunjukan manajemen Bank Banten tidak professional dalam pengelolaan dana nasabah.

“Saya dapat menduga pada tahun ini Bank Banten kembali akan mengalami kerugian, bahkan selain itu patut diduga adanya Dana Pihak Ketiga (DPK) yang diduga belum dibayarkan berpotensi menjadi permasalahan baru selain DBH delapan Kab/Kota,” jelasnya.

Selain DBH, lanjut Ojat, ada juga Jasa Giro atas RKUD Pemprov Banten sebesar Rp36,3 miliar, dana BLUD RSUD Banten Dan Malingping yang masing-masing sekitar Rp30 miliar dan Rp7 miliar, yang terakhir adalah dana KONI Banten sekitar Rp16 miliar.

Di atas besaran kerugian yang berpotensi dialami Bank Banten, berdasarkan data yang diperoleh dari laporan pelaksanaan tata kelola Bank Banten Tahun 2018, paket remunerasi dan fasilitas yang diterima dewan Komisaris dan Direksi selama tahun 2018 sangat tinggi. Bahkan bisa dipastikan tahun-tahun berikutnya juga besarannya sama atau mengalami peningkatan.

“Jika dirata–ratakan untuk Direksi di kisaran kurang lebih Rp140 juta setiap bulan, sedangkan untuk Komisaris sekitar Rp62 juta setiap bulan perorangnya,” tutupnya. (Al/Red)