Menegakkan Negara Hukum: Antara Idealisme Konstitusi dan Realitas Penegakan

oleh
oleh

SERANG, PILARBANTEN.COM – Negara hukum merupakan prinsip mendasar yang menempatkan hukum sebagai panglima dalam setiap penyelenggaraan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat administratif, tetapi juga sebagai pelindung hak asasi manusia serta penjamin keadilan sosial.

Mahfud MD (2010) menegaskan, negara hukum Indonesia berperan ganda: mengawal demokrasi sekaligus menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak warga negara. Artinya, hukum harus menjadi pagar yang membatasi kekuasaan agar tidak bertindak sewenang-wenang.

Sejarah konsep negara hukum sendiri berakar dari dua tradisi besar: Rechtsstaat di Eropa Kontinental dan Rule of Law di Inggris. Menurut Asshiddiqie (2006), Indonesia tidak hanya mengadopsi prinsip tersebut, tetapi juga mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Pancasila. Hasilnya, lahirlah konsep negara hukum yang bercorak khas Indonesia — menekankan bukan hanya supremasi hukum, tetapi juga kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian, hukum di Indonesia diharapkan tidak sekadar mengatur, melainkan juga menyejahterakan.

Salah satu pilar utama negara hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum menuntut adanya aturan yang jelas, konsisten, dan dapat ditegakkan tanpa diskriminasi. Tanpa kepastian ini, masyarakat akan kehilangan pegangan dalam menjalankan aktivitas sosial, ekonomi, dan politiknya. Marzuki (2017) menegaskan bahwa kepastian hukum bukan sekadar keberadaan aturan tertulis, tetapi juga bagaimana aparat menegakkannya dengan konsisten. Sayangnya, di Indonesia masih banyak peraturan yang multitafsir, menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum di lapangan.

Baca Juga:  Mahasiswa PNF Untirta berkolaborasi dengan PLN Indonesia Power UBP CILEGON dalam Kegiatan santunan guru ngaji di Desa Argawana

Selain kepastian, asas keadilan juga menjadi pilar penting. Hiariej (2015) menyebut bahwa hukum tidak boleh berhenti pada formalitas, melainkan harus berorientasi pada substansi keadilan. Realitasnya, masih sering terjadi perlakuan hukum yang berbeda antara masyarakat kecil dan kalangan elite. Ketimpangan semacam ini menunjukkan bahwa asas keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Maka dari itu, reformasi hukum harus diarahkan tidak hanya pada perubahan regulasi, tetapi juga pada pembenahan aparat penegak hukum agar benar-benar imparsial dan bebas dari intervensi politik.

Asas legalitas juga menjadi benteng penting dalam negara hukum. Prinsip nullum delictum, nulla poena sine lege (tidak ada delik, tidak ada hukuman tanpa undang-undang) memastikan bahwa tidak ada warga negara yang dapat dipidana tanpa dasar hukum yang jelas. Prinsip ini melindungi masyarakat dari potensi kriminalisasi sewenang-wenang. Sejalan dengan itu, asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) menegaskan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang jabatan atau status sosial, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum (Soemantri, 2006).

Baca Juga:  Negara dan Sistem Pemerintahan: Mengapa Kita Perlu Memahaminya

Tidak kalah penting, asas perlindungan hak asasi manusia menjadi fondasi moral dari negara hukum. Amandemen UUD 1945 telah memperkuat hal ini melalui penambahan Bab khusus tentang HAM, disertai pembentukan lembaga independen seperti Komnas HAM. Namun, praktiknya masih menghadapi tantangan: kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas dan munculnya regulasi yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi, seperti beberapa pasal dalam Undang-Undang ITE.

Asas terakhir, kemanfaatan, mengingatkan bahwa hukum tidak boleh berhenti sebagai kumpulan norma kaku. Hukum harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Regulasi yang baik adalah yang mampu menjawab kebutuhan sosial dan mendorong kesejahteraan bersama (Nurdiansyah, 2025).

Meski secara normatif konsep negara hukum Indonesia tampak ideal, praktiknya masih jauh dari harapan. Banyak kebijakan hukum yang sarat kepentingan politik, aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya independen, dan budaya hukum masyarakat yang masih lemah. Enggarani (2022) mencatat bahwa independensi peradilan di Indonesia masih rentan terhadap tekanan eksternal.

Baca Juga:  Sekretaris DKPP Kabupaten Serang Lulusan Pertama Prodi Doktor Ilmu Pertanian Untirta Banten

Karena itu, memperkuat integritas lembaga peradilan dan menjamin transparansi proses legislasi menjadi langkah mendesak. Selain itu, peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga penting. Masyarakat yang paham hukum akan lebih mampu mengontrol kekuasaan dan menuntut akuntabilitas dari aparat negara.

Akhirnya, negara hukum tidak boleh berhenti sebagai slogan konstitusional. Ia harus hidup dalam praktik — dalam setiap keputusan pemerintah, dalam sikap aparat, dan dalam kesadaran warga negara. Supremasi hukum harus dijaga, asas-asas hukum harus ditegakkan, dan keadilan harus dirasakan oleh semua, bukan hanya oleh mereka yang berkuasa.

Jika itu terwujud, maka cita-cita Indonesia sebagai negara hukum sejati bukan hanya impian di atas kertas, tetapi kenyataan yang menghidupi demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 

Nama: Muhammad Fatah Fashila
Nim: 251090200573
Universitas Pamulang PSDKU Kota Serang