Serang, – Kota Serang mempunyai puluhan kesenian tradisional yang hingga kini masih terus eksis di tengah gempuran arus teknologi.
Kesenian itu tersebar di hampir seluruh titik kecamatan yang ada di Kota Serang seperti Kecamatan Curug, Kasemen, Serang, Taktakan dan Walantaka.
Di Kecamatan Walantaka kesenian yang sampai saat ini masih eksis masih terhitung banyak seperti Debus, Pencak Silat, Wewe, Terbang Besar atau Rumah dan terakhir kesenian Ubrug.
Dari sekian kesenian itu, masing-masing mempunyai tempat dan momen yang berbeda pada saat pementasannya, meskipun secara umum hampir sebagian besar dipentaskan pada saat kegiatan-kegiatan sakral yang diadakan oleh masyarakat seperti hajatan, sunatan, kunjungan tamu besar atau Peringatan Hari Besar Islam (PHBI).
Seperti jenis kesenian Ubrug misalnya. Kesenian yang beranggotakan cukup banyak orang dalam pementasannya itu bisa ditampilkan dimana saja, baik pada saat momen hajatan, ada kunjungan tamu atau bahkan pada saat memperingati PHBI.
“Tergantung yang ngundang kalau kita mah. Tapi kebanyakan pada saat hajatan,” kata pendiri kesenian Ubrug Cantel Group Sukardi (73) yang berlokasi di Lingkungan Prisen, Kelurahan Kiara, Kecamatan Walantaka, Kota Serang, Rabu (20/10/2021).
Pria yang lebih akrab disapa pak Cantel ini menuturkan, pada saat masih kondisi normal sebelum Pandemi Covid-19, dalam sebulan kelompok Ubrug nya bisa mentas sampai delapan kali.
“Dari mulai mentas di sekitar Walantaka, sampai di Merak, Penimbangan, Citorek sampai Tangerang,” ungkapnya.
Dalam sekali pementasan, lanjut pak Cantel, biasanya diikuti oleh 25 orang yang terdiri dari pemain musik, sinden dan pemain pemeran. Makanya kemudian kesenian ini dinamakan Ubrug, menyerap dari kata gabrug atau gabrugan yang mengandung makna banyakan.
Sedangkan untuk alat musik yang dimainkan itu diantaranya ada Saron, Bonang, Rebab, Gendang, Gong dan Kecrek.
Pria yang sudah menekuni Kesenian Ubrug sejak tahun 1970 ini mengaku pementasan Ubrug saat ini sudah berbeda jika dibandingkan dengan masa lalu ketika tahun 80-90 an.
Pada masa itu, kisah yang dibawakan para pemeran lebih kepada cerita rakyat seperti kisah si Petruk, Malin Kundang dan lain sebagainya. Namun saat ini pesan dalam setiap pementasan itu lebih kepada kisah yang mengandung humor.
“Lebih kepada kisah yang mengandung humor atau bodor. Namun tetap pesan moral itu disisipkan,” ungkapnya.
Selain itu, durasi waktu pementasannya pun cukup singkat dibandingkan dengan dulu. Kalau dahulu dari selepas Isya sampai subuh, kalau sekarang paling sampai jam 02.00 dinihari.
“Pertama itu biasa pembukaan, setelah itu Jaipongan oleh sinden-sinden yang dibawa. Setelah Jaipongan baru mulai pementasan Ubrug,” jelasnya.
Diakui Cantel, masa Pandemi ini menjadi pukulan yang sangat berat bagi keberlangsungan pementasan kesenian Ubrugnya. Bahkan dalam dua tahun terakhir hanya ada dua kali undangan pementasan, itupun susahnya minta ampun.
“Beberapa diantaranya dibatalkan, karena tidak mendapat izin dari Satgas,” ungkapnya.
Untuk menutupi kebutuhan keluarganya, Cantel berusaha serabutan dengan berjualan kerupuk keliling, itu pun hanya packing saja, barangnya mah punya orang lain. Hal yang sama juga dilakukan oleh rekan-rekan kelompoknya yang berusaha serabutan.
“Pernah ada yang sudah memberikan DP, tapi kemudian dibatalkan karena tidak mendapat izin,” katanya.
Cantel yang sudah mempunyai empat anak ini mengaku sampai saat ini belum ada generasi anak muda yang akan meneruskan kesenian Ubrugnya. Pasalnya ke empat anaknya tidak ada yang bisa main Ubrug.
“Hanya anak pertama saya yang bisa main gendang, itu pun dangdut,” ucapnya.
Padahal, kelompok Ubrugnya sudah terkenal di sekitar Provinsi Banten. Bahkan beberapa penghargaan baik dari Provinsi maupun dari Jawa Barat sudah ia dapatkan.
“Seperti penghargaan dari Gubernur Atut waktu itu. Lalu dari balai kebudayaan juga sudah pernah dapet. Tapi kalau untuk perhatian dari Pemkot Serang belum ada. Hanya dari bu Atut waktu itu yang memberikan peralatan musik,” jelasnya.(guh)