SERANG, PILARBANTEN.COM – Reformasi 1998 bukanlah peristiwa yang lahir dari ruang hampa. Ia merupakan akumulasi kekecewaan panjang rakyat terhadap arah penyelenggaraan negara yang semakin menjauh dari nilai keadilan, keterbukaan, dan kesejahteraan. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang pada awalnya menjanjikan stabilitas dan pembangunan, namun pada akhirnya meninggalkan problem struktural yang serius dan mendalam.
Krisis ekonomi 1997–1998 menjadi titik balik yang membuka mata banyak pihak. Nilai tukar rupiah jatuh bebas, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, dan ribuan perusahaan terpaksa gulung tikar. Dampaknya terasa langsung di tengah masyarakat: pengangguran meningkat dan kemiskinan meluas. Ironisnya, di saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme justru semakin nyata di lingkaran elite kekuasaan. Ketimpangan ini menumbuhkan rasa ketidakadilan yang sulit dibendung.
Di bidang politik, sistem pemerintahan yang sentralistik mempersempit ruang demokrasi. Kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elit, sementara kebebasan berpendapat dibatasi secara sistematis. Kritik terhadap pemerintah kerap dibungkam, media massa berada dalam pengawasan ketat, dan pemilihan umum kehilangan makna substantifnya. Demokrasi direduksi menjadi sekadar formalitas, bukan sarana kedaulatan rakyat. Dalam kondisi tersebut, masyarakat merasa terasing dari proses pengambilan keputusan yang seharusnya mewakili kepentingan mereka.
Masalah penegakan hukum turut memperparah krisis kepercayaan publik. Hukum sering kali berlaku tidak adil—tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat atau kroni kekuasaan jarang tersentuh, sementara rakyat kecil dengan mudah terseret proses hukum. Ketidakadilan ini memperkuat keyakinan bahwa hukum tidak lagi berdiri sebagai alat keadilan, melainkan sebagai instrumen kekuasaan.
Di tengah situasi tersebut, mahasiswa tampil sebagai kekuatan moral yang menyuarakan perubahan. Dengan segala keterbatasan dan risiko, mahasiswa mengorganisasi aksi-aksi demonstrasi untuk menuntut reformasi total. Gerakan ini bukan sekadar ekspresi perlawanan, melainkan wujud kepedulian terhadap masa depan demokrasi dan keadilan sosial. Berbagai tragedi yang menyertai perjuangan tersebut menjadi bukti bahwa reformasi lahir dari pengorbanan besar.
Reformasi pada hakikatnya adalah refleksi kesadaran kolektif rakyat yang tak lagi bisa diam. Ia menandai batas kesabaran masyarakat terhadap kekuasaan yang tidak diawasi dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Reformasi bukan semata pergantian rezim, melainkan tuntutan akan perubahan sistem menuju tatanan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi.
Lebih dari dua dekade berlalu, semangat reformasi seharusnya tetap hidup. Latar belakang lahirnya reformasi menjadi pengingat bahwa demokrasi dan keadilan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus terus dijaga. Ketika kekuasaan kembali menjauh dari rakyat, sejarah telah memberi pelajaran: suara publik akan selalu menemukan jalannya.

Nama : Adi Mualana
Kelas : 01HKSE007
Nim : 251090200583
Fakultas Hukum Universitas Pamulang PDSKU Kota Serang








