Banjir Aceh Tamiang: Jeritan Ekologi akibat Pembalakan Liar

oleh
oleh

SERANG, PILARBANTEN.COMĀ  – Banjir bandang yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus krisis lingkungan yang serius. Dampak yang ditimbulkan sangat luas, mulai dari rumah warga yang hanyut, akses jalan terputus, hingga meningkatnya jumlah pengungsi. Peristiwa ini tidak dapat dipandang sebagai bencana alam semata, melainkan sebagai peringatan keras atas lemahnya pengelolaan lingkungan dan minimnya kesiapsiagaan bencana.

Salah satu temuan paling mencolok di lapangan adalah adanya tumpukan kayu gelondongan berukuran besar yang menyumbat aliran sungai. Fakta ini memperkuat dugaan publik bahwa pembalakan liar (illegal logging) di kawasan hulu menjadi faktor utama penyebab banjir bandang. Jika dugaan ini terbukti, maka peristiwa Aceh Tamiang merupakan akibat langsung dari kejahatan lingkungan yang terorganisir dan sistematis, yang mengorbankan keselamatan serta hak hidup masyarakat.

Sebagai bentuk kejahatan lingkungan, praktik pembalakan liar tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga alami bencana. Pernyataan Presiden dan Kapolri yang menyoroti persoalan ini harus ditindaklanjuti secara konkret melalui penegakan hukum yang tegas dan transparan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib mengusut tuntas aktor intelektual di balik rantai pembalakan liar, bukan hanya pelaku lapangan. Selain itu, pengawasan hutan harus diperketat dengan memanfaatkan teknologi serta melibatkan masyarakat sekitar sebagai bagian dari sistem pengawasan. Rehabilitasi kawasan hutan di hulu Sungai Tamiang juga menjadi langkah strategis sebagai upaya mitigasi jangka panjang.

Di sisi lain, prioritas kemanusiaan pasca banjir tidak boleh diabaikan. Banyak rumah warga tertimbun lumpur, rusak parah, bahkan bergeser hingga ke badan jalan sehingga tidak lagi layak huni. Kebutuhan mendesak saat ini meliputi distribusi logistik dasar seperti air bersih, makanan, obat-obatan, pakaian, serta kebutuhan bayi yang harus dilakukan secara merata dan berkelanjutan, terutama di wilayah yang terisolasi. Pemerintah juga perlu memperluas layanan kesehatan dan sanitasi di posko pengungsian untuk mencegah munculnya penyakit pasca bencana.

Baca Juga:  Gubernur Andra Soni Dukung Rakernas BEM SI di Untirta

Lebih jauh, pemerintah harus segera menyusun rencana relokasi yang aman bagi warga terdampak serta melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak, termasuk tanggul dan akses jalan. Bantuan pembangunan kembali rumah warga harus menjadi prioritas utama agar masyarakat dapat kembali hidup secara layak dan bermartabat.

Aceh Tamiang merupakan wilayah yang berulang kali dilanda banjir, menunjukkan bahwa upaya mitigasi selama ini belum berjalan efektif. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan ulang kawasan rawan bencana dan menerapkan tata ruang yang lebih ketat. Pengembangan sistem peringatan dini yang andal dan mudah diakses masyarakat bantaran sungai juga menjadi kebutuhan mendesak. Selain itu, edukasi kebencanaan harus dilakukan secara rutin agar masyarakat memiliki kesiapsiagaan dan pemahaman yang memadai dalam menghadapi banjir bandang.

Baca Juga:  Ekonomi Hijau dan Gen Z: Peluang Baru dari Daerah di Tengah Krisis Global

Tragedi Aceh Tamiang merupakan cerminan rapuhnya perlindungan lingkungan dan kesiapsiagaan bencana di Indonesia. Dengan penegakan hukum yang tegas, pendekatan berbasis ekologi, serta keberpihakan pada kemanusiaan, diharapkan bencana serupa tidak kembali terulang di masa depan.

Nama : Khotibul Umam
Nim : 251090200401
Kelas : 01HKSM003
Fakultas Hukum Universitas Pamulang PDSKU Kota Serang