Bahan Tambahan Pangan: Antara Manfaat dan Akibat

oleh -1439 Dilihat
oleh

Oleh AMINUDIN, mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar

Perkembangan teknologi secara keseluruhan mengalami kemajuan yang cukup pesat, termasuk di bidang teknologi pangan. Permintaan dan penyediaan pangan dalam kemasan menjadi dua hal yang meningkat secara bersinergi. Sehingga kebutuhan akan peningkatan mutu produk-produk pangan yang diproduksi menjadi hal yang wajib dipenuhi oleh produsen pangan, terutama pangan olahan dalam kemasan yang menginginkan produknya dengan kriteria mutu tertentu. Misalnya untuk kebutuhan peningkatan keawetan dibutuhkan pengawet, pengurangan penggunaan gula dibutuhkan pemanis, menjaga kestabilan dibutuhkan penstabil, dan lainnya. Pengawet, pemanis dan penstabil tersebut termasuk pada Bahan Tambahan Pangan (BTP).

Penggunaan BTP yang bijak, akan memberikan manfaat yang baik untuk peningkatan mutu produk pangan yang diproduksi, sebaliknya penggunaan yang tidak mengikuti aturan yang ditetapkan tentu akan memberikan akibat yang negative pula terhadap produk yang dihasilkan. Sebelum penggunaan BTP, perlu dipahami betul apa fungsi dan kegunaannya, sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan, dan tidak memberikan dampak negative pada konsumennya. Kesalahan dan kekeliruan penggunaan BTP, selain berdampak negative pada konsumen, tentu akan berdampak besar pada citra perusahaan secara keseluruhan, karena bisa menjadi konsumsi pemberitaan media, yang bisa mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap produk yang diproduksi. Banyak alasan dibalik pemberitaan yang muncul, tetapi apapun lasannya langkah antisipasi tentu lebih baik dilakukan. Jika tujuan pemberitaan untuk memberikan informasi yang benar, memberikan pelajaran yang positif kepada konsumen maupun produsen, tentunya yang sangat diharapkan. Tetapi, seringkali ada tujuan negatif seperti alasan politis, persaingan usaha dan tujuan lainnya. Sebagai akibatnya, informasi itu malah akan membuat konsumen ketakutan dan produsen kelabakan. Belum lagi jika ada pemberitaan negatif di dunia maya (Internet), yang bebas dan cepat menyebar. Pemberitaan seperti inilah yang perlu diluruskan dengan berita-berita yang bisa mengimbangi dalam hal kegunaan dan resiko penggunaan BTP.

Baca Juga:  Protes Jalan Rusak, Ribuan Massa Mancing Ikan di Jalan Berlubang

Beberapa jenis Bahan Tambahan Pangan

Definisi BTP
BTP adalah campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi lebih kepada sesuatu yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental. Pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan bahwa BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Kajian Keamanan Pangan BTP

Lembaga Internasional bernama Codex Alimentarius Commission-merupakan lembaga kerjasama FAO/WHO-mempunyai Komite untuk melakukan Risk Assessment (analisis risiko) terhadap BTP. Komite ini disebut dengan JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives). Hasil kajian JECFA berupa informasi terkait dengan toksisitas, seperti nilai ADI (Acceptable Daily Intake) untuk BTP. Komite yang melakukan kajian Risk Management (manajemen risiko) adalah CCFAC (Codex Committee on Food Additives and Contaminants) untuk BTP dan kontaminan. Komite ini bertugas untuk menentukan standar BTP yang dapat digunakan untuk pangan/makanan. Setiap negara berhak untuk mengatur regulasi BTP di negaranya sendiri dan dapat berbeda dengan negara lain. Tetapi pada umumnya Standar Codex Alimentarius Commission dijadikan benchmarking dalam penyusunan standar nasional di negara masing-masing. Penggolongan BTP

Penggolongan BTP di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, BTP yang diizinkan digunakan pada makanan adalah : (1) pewarna, (2) pemanis buatan, (3) pengawet, (4) antioksidan, (5) antikempal, (6) penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, (7) pengatur keasaman, (8) pemutih dan pematang tepung, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras dan (11) sekuesteran (pengikat ion logam). Selain BTP yang tercantum dalam Peraturan Menteri tersebut, masih ada BTP lainnya yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya : (1) enzim, (2) penambah gizi dan (3) humektan (penyerap lembab). Manfaat BTP

Baca Juga:  Omnibus Law Kesehatan Disetujui Jadi RUU Inisiatif DPR, HMI Badko Jabodetabeka-Banten Angkat Suara

Seperti tujuan dibuatnya BTP, pada dasarnya untuk bisa memberikan kontribusi positif pada perkembangan industry pangan. Karena sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi di dunia pangan, penggunaan BTP bisa menjadi salah satu pilihan bagi industri pangan dalam pengembangan produknya. Penggunaan BTP di dalam produksi pangan antara lain ditujukan untuk (1) mengawetkan makanan, (2) membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, (4) meningkatkan kualitas pangan dan (5) menghemat biaya.

Contoh aplikasi Bahan Tambahan Pangan pada produk pangan
Akibat BTP Saat ini disayangkan, banyak produsen yang masih keliru dalam penggunaan BTP bisa karena alasan ketidaktahuan, tetapi banyak pula karena unsur kesengajaan, dengan alasan lebih mudah, lebih murah, dan lainnya. Pembelajaran tentang BTP secara benar sangat diperlukan, baik untuk produsen maupun konsumen. BTP bukan sesuatu yang menakutkan, jika setiap produsen mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Konsumen pun tidak perlu semakin resah dengan banyaknya pemberitaan yang tidak benar tentang BTP. BTP dapat menimbulkan resiko yang tidak baik bagi kesehatan masyarakat jika produsen (1) menggunakan BTP yang tidak diijinkan, yang dilarang atau BTP yang bukan untuk pangan (non food grade) dan (2) menggunakan BTP dengan dosis/takaran yang tidak tepat, misalnya melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan oleh instansi berwenang, dalam hal ini BPOM. Penekanan yang tegas kepada produsen sangat diperlukan, bahwa setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar, jelas dan jujur. Sehingga konsumen tidak sampai memiliki gambaran yang keliru atas produk yang mereka konsumsi. Informasi yang benar dan jujur harus dicantumkan secara jelas dalam setiap kemasannya, sehingga konsumen dapat menentukan pilihan makanan yang tepat sebelum membeli dan/atau mengkonsumsinya. Keterlibatan media, selain keterlibatan produsen dan konsumen, tentu sangat diperlukan. Media harus mampu menyajikan pemberitaan yang seimbang, sehingga konsumen mendapat kejelasan dan produsen pun tidak dirugikan. Pada akhirnya, keterlibatan konsumen, produsen, media dan lainnya, tidak akan berarti tanpa keterlibatan dan kebijakan dari pemerintah. Pemerintah yang berada diantara kepentingan konsumen dan produsen, harus bisa melindungi hak konsumen dan juga memberikan jaminan keamanan bagi produsen yang baik produsen yang tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Sebaliknya pemerintah harus bisa pula melakukan tindakan yang tegas kepada produsen yang melanggar, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Selain produsen dalam negeri, aturan tegas penggunaan BTP juga harus diterapkan pada importer, memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan di Indonesia. Karena tentu aturan BTP untuk setiap negara beragam, seperti saat kita akan ekspor, maka kita pun harus mengikuti aturan BTP di negara yang menjadi tujuan. Jalinan kerjasama yang baik, antara semua pihak, diharapkan dapat mendorong industri pangan di Indonesia untuk semakin berkembang menghasilkan produk yang berkualitas baik, konsumen terlindungi dan makin loyal pada produk negerinya, serta tentunya pendapatan pemerintah pun bisa meningkat. (*)