SERANG, PILARBANTEN.COM – Bentuk pemerintahan merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ia tidak sekadar mengatur mekanisme distribusi kekuasaan, tetapi juga mencerminkan komitmen negara terhadap demokrasi, keadilan, serta kesejahteraan rakyat. Dalam teori ketatanegaraan, bentuk pemerintahan diklasifikasikan ke dalam berbagai model—monarki dan republik, parlementer dan presidensial, hingga sistem campuran. Namun, dalam praktiknya, jarak antara desain konstitusional dan realitas kekuasaan kerap kali begitu lebar.
Indonesia secara konstitusional menganut bentuk republik dengan sistem presidensial. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memegang posisi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Secara normatif, sistem ini dirancang untuk menciptakan stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, serta kejelasan akuntabilitas kekuasaan. Akan tetapi, dalam realitas politik, kekuasaan eksekutif sering kali tampil dominan, bahkan cenderung melampaui fungsi pengawasan lembaga legislatif dan yudikatif.
Dominasi tersebut tampak dalam proses legislasi yang kerap dikendalikan oleh kepentingan politik elite, lemahnya fungsi kontrol parlemen, serta terbatasnya keberanian lembaga peradilan dalam menghadapi kekuasaan. Akibatnya, prinsip checks and balances yang menjadi roh sistem presidensial berubah menjadi formalitas belaka. Demokrasi tetap berjalan secara prosedural, namun kehilangan substansi.
Persoalan utama sejatinya bukan terletak pada pilihan bentuk pemerintahan, melainkan pada cara kekuasaan dijalankan. Pemerintahan yang mengklaim diri demokratis dapat menjelma menjadi otoriter ketika kekuasaan terpusat pada segelintir elite, partisipasi publik dipersempit, dan kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu ketimbang kebutuhan rakyat luas. Dalam kondisi seperti ini, konstitusi hanya menjadi dokumen normatif yang kehilangan daya hidupnya.
Pengalaman global juga menunjukkan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan yang sepenuhnya sempurna. Sistem parlementer rentan terhadap instabilitas akibat konflik politik internal, sementara sistem presidensial berisiko melahirkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan. Oleh karena itu, kualitas demokrasi tidak ditentukan oleh model pemerintahan semata, melainkan oleh budaya politik, etika kekuasaan, serta komitmen terhadap supremasi hukum.
Pada akhirnya, diskursus mengenai bentuk pemerintahan harus diarahkan pada evaluasi kritis antara ideal konstitusional dan praktik empiris. Tanpa pengawasan publik yang kuat, kebebasan pers, dan kesadaran politik warga negara, bentuk pemerintahan apa pun berpotensi menyimpang dari tujuan awalnya. Demokrasi tidak cukup dijaga melalui struktur, tetapi harus terus dihidupkan melalui partisipasi rakyat dan keberanian untuk mengoreksi kekuasaan.

Nama :Rizki Mahesapati Maulana
Nim : 251090200673
Kelas : 01HKSE007
Fakultas Hukum Universitas Pamulang PDSKU Kota Serang








