Opini Publik di Era Digital: Antara Kebebasan Bersuara dan Intoleransi Online

oleh
oleh

SERANG, PILARBANTEN.COM – Media sosial pada awal kemunculannya dipandang sebagai ruang publik baru yang demokratis. Setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat, berdiskusi, serta bertukar gagasan tanpa batas ruang dan waktu. Idealnya, media sosial menjadi sarana pembelajaran sosial yang memperkuat nilai toleransi dan partisipasi warga. Namun dalam kenyataannya, ruang digital tersebut justru sering berubah menjadi arena konflik, penghakiman, dan intoleransi terhadap perbedaan pandangan.

Salah satu fenomena yang menonjol adalah munculnya sikap intoleran dalam menanggapi pendapat yang berbeda. Seseorang yang menyampaikan pandangan yang tidak sejalan dengan mayoritas kerap menerima serangan verbal, perundungan digital, bahkan ancaman sosial. Pendapat tidak lagi dibalas dengan argumen, melainkan dengan hujatan dan pelabelan negatif. Kebebasan berekspresi pun kehilangan makna karena dibayangi rasa takut akan reaksi publik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara di media sosial sering kali tidak diiringi dengan tanggung jawab moral. Banyak pengguna lebih mengutamakan emosi dibandingkan nalar. Informasi yang belum tentu benar disebarkan secara masif, lalu dijadikan dasar untuk menyerang pihak tertentu. Akibatnya, proses dialog yang sehat tergantikan oleh budaya saling menyalahkan dan menjatuhkan.

Baca Juga:  Menggulung Batas Ekonomi: Analisis Faktor Pendorong Integrasi Ekonomi Global

Situasi tersebut diperparah oleh mekanisme algoritma media sosial. Konten yang memicu emosi, kemarahan, dan kontroversi cenderung lebih sering ditampilkan karena dianggap meningkatkan interaksi. Hal ini membentuk kelompok-kelompok pengguna dengan pandangan serupa, sehingga mempersempit sudut pandang dan memperkuat keyakinan bahwa pendapat sendiri adalah yang paling benar. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai hal wajar dalam demokrasi, melainkan dianggap sebagai ancaman.

Dampak jangka panjang dari kondisi ini sangat serius bagi kehidupan sosial. Masyarakat menjadi mudah terpecah, rasa saling percaya menurun, dan ruang dialog publik semakin sempit. Banyak individu memilih diam atau menyesuaikan pendapatnya dengan arus dominan demi menghindari konflik. Akibatnya, kebebasan berpikir dan keberanian menyampaikan gagasan kritis semakin terkikis.

Baca Juga:  Indonesia: Potret Nyata Bangsa yang Plural dan Multikultural

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk membangun etika berdiskusi di ruang digital. Media sosial seharusnya menjadi sarana untuk memperkaya perspektif, bukan alat untuk membungkam perbedaan. Tanpa sikap saling menghargai dan kemampuan berpikir kritis, kebebasan yang ditawarkan media sosial justru dapat berubah menjadi sumber intoleransi yang merusak nilai-nilai demokrasi.

NAMA: Muhammad Ikhsan Alamsyah
NIK: 251090200032
KELAS: 01HKSM003